Kamis, 05 April 2012

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN


Hipertensi pada Kehamilan 


Hipertensi merupakan salah satu masalah medis yang kerapkali muncul selama kehamilan  dan dapat menimbulkan komplikasi pada 2-3 persen  kehamilan. Hipertensi pada kehamilan dapat menyebabkan morbiditas/ kesakitan pada ibu (termasuk kejang eklamsia, perdarahan otak, edema paru (cairan di dalam paru), gagal ginjal akut, dan penggumpalan/ pengentalan darah di dalam pembuluh darah) serta morbiditas pada janin (termasuk pertumbuhan janin terhambat di dalam rahim, kematian janin di dalam rahim, solusio plasenta/ plasenta terlepas dari tempat melekatnya di rahim, dan kelahiran prematur). Selain itu, hipertensi pada kehamilan juga masih merupakan sumber utama penyebab kematian pada ibu.
Hipertensi pada kehamilan dapat diklasifikasikan dalam 4 kategori, yaitu:
  1. Hipertensi kronik: hipertensi (tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg yang diukur setelah beristirahat selama 5-10 menit dalam posisi duduk) yang telah didiagnosis sebelum kehamilan terjadi atau hipertensi yang timbul sebelum mencapai usia kehamilan 20 minggu.
  2. Preeklamsia-Eklamsia: peningkatan tekanan darah yang baru timbul setelah usia kehamilan mencapai 20 minggu, disertai dengan penambahan berat badan ibu yang cepat akibat tubuh membengkak dan pada pemeriksaan laboratorium dijumpai protein di dalam air seni (proteinuria). Eklamsia: preeklamsia yang disertai dengan kejang.
  3. Preeklamsia superimposed pada hipertensi kronik: preeklamsia yang terjadi pada perempuan hamil yang telah menderita hipertensi sebelum hamil.
  4. Hipertensi gestasional: hipertensi pada kehamilan yang timbul pada trimester akhir kehamilan, namun tanpa disertai gejala dan tanda preeklamsia, bersifat sementara dan tekanan darah kembali normal setelah melahirkan (postpartum). Hipertensi gestasional berkaitan dengan timbulnya hipertensi kronik suatu saat di masa yang akan datang.
Preeklamsia terjadi pada kurang lebih 5% dari seluruh kehamilan, 10% pada kehamilan anak pertama, dan 20-25% pada perempuan hamil dengan riwayat hipertensi kronik sebelum hamil. Faktor risiko ibu untuk terjadinya preeklamsia antara lain meliputi kehamilan pertama, pasangan/ paternitas baru, usia lebih muda dari 18 tahun atau lebih tua dari 35 tahun, riwayat preeklamsia pada kehamilan sebelumnya, riwayat keluarga dengan preeklamsia, obesitas/ kegemukan, dan selang waktu jarak antar kehamilan kurang dari 2 tahun atau lebih dari 10 tahun.
Dasar penyebab preeklamsia diduga adalah gangguan pada fungsi endotel pembuluh darah (sel pelapis bagian dalam pembuluh darah) yang menimbulkan vasospasme pembuluh darah (kontraksi otot pembuluh darah yang menyebabkan diameter lumen pembuluh darah mengecil/ menciut). Perubahan respons imun ibu terhadap janin/ jaringan plasenta (ari-ari) diduga juga berperan pada terjadinya preeklamsia. Kerusakan endotel tidak hanya menimbulkan mikrotrombosis difus plasenta (sumbatan pembuluh darah plasenta) yang menyebabkan plasenta berkembang abnormal atau rusak, tapi juga menimbulkan gangguan fungsi berbagai organ tubuh dan kebocoran pembuluh darah kapiler yang bermanifestasi pada ibu dengan bertambahnya berat badan ibu secara cepat, bengkak (perburukan mendadak bengkak pada kedua tungkai, bengkak pada tangan dan wajah), edema paru, dan/ atau hemokonsentrasi (kadar hemoglobin/ Hb lebih dari 13 g/dL). Plasenta yang tidak normal akibat mikrotrombosis difus, akan menurunkan aliran darah dari rahim ke plasenta. Hal tersebut akan memengaruhi kehidupan janin dan bermanifestasi secara klinis dalam bentuk pertumbuhan janin terhambat di dalam kandungan/ rahim dan oligohidramnion (cairan ketuban sedikit). 
Berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan di dalam tulisan di atas, pemeriksaan kehamilan secara berkala sangat penting pada semua ibu hamil untuk mendeteksi adanya hipertensi pada kehamilan sehingga dapat diberikan tatalaksana yang tepat. Lebih lanjut, perempuan yang menderita hipertensi pada kehamilan memerlukan tindak lanjut medis atau dimonitor kondisi medisnya setelah melahirkan.


 


Hipertensi Pada Ibu Hamil
7- 2004

Metabolisme tubuh selama kehamilan berbeda-beda. Sistem hormonal, sistem kardiovaskuler, dan pengeluaran urin, berbeda antara wanita hamil dengan wanita tidak hamil. Perilaku makan dan gaya hidup misalnya berubah drastis. Mood Anda pun berubah sewaktu hamil. Volume darah akan meningkat dan mencapai maksimum pada trimester ke-2 dan ke-3. Tekanan darah jantung pun meningkat dan membawa komplikasi berupa peningkatan kerja ginjal.

Riwayat hipertensi dan penyakit ginjal sebelum kehamilan akan menyebabkan hipertensi menjadi semakin parah. Penelitian yang dilakukan terhadap 400 ibu hamil selama 4 minggu menyimpulkan bahwa ibu yang mempunyai riwayat hipertensi sebelum kehamilan lebih berisiko menderita hipertensi selama kehamilan. Peningkatan tekanan darah ini bisa mencapai 9-13%. Sebaliknya, pada ibu yang mempunyai tensi normal sebelum kehamilan, tekanan darah hanya akan meningkat hanya 8%.

Hipertensi selama kehamilan menjadi penyebab kematian ibu hamil, kematian bayi dan berat bayi lahir rendah. Tekanan darah yang meningkat mengakibatkan pembuluh darah mengalami vasokontriksi (penyusutan/penyempitan). Akibatnya suplai darah ke jaringan tubuh akan berkurang. Organ akan kehilangan asupan nutrisi dan oksigen sehingga lambat laun mengakibatkan organ tidak berfungsi dan bahkan kematian organ. Akibatnya, ibu hamil meninggal karena komplikasi dari hipertensi seperti gagal ginjal atau kematian organ lainnya. Hipertensi juga bertanggung jawab terhadap perdarahan selama persalinan.

Nutrisi dan oksigen bagi pertumbuhan janin disuplai dari ibu. Bila suplai terganggu, bayi bisa meninggal dan kurang gizi. Bila bayi masih hidup dan lahir dengan selamat, berat badannya sangat rendah dan ukuran bayi sangat kecil.

Penyebab terjadinya hipertensi yang mendadak terjadi selama kehamilan, khususnya jenis hipertensi gestasional dan preeklampsia atau eklampsia, belum diketahui dengan jelas. Untungnya, tekanan darah selama kehamilan akan kembali normal setelah persalinan. Menjelang persalinan, tubuh akan beraksi dengan menahan kerja jantung sehingga tekanan darah menjadi menurun dan menjadi normal. Tetapi, bisa juga tekanan darah melonjak tinggi beberapa jam setelah melahirkan. Ketidakpastian dan ketidakstabilan tekanan darah selama kehamilan ini yang menyebabkan sulitnya memastikan apakah benar seorang ibu hamil menderita hipertensi yang membahayakan kehamilannya.

Hipertensi pada kehamilan terjadi bila tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg pada posisi duduk. Pengukuran dilakukan 2 kali dengan interval 6 jam dan hasil pengukuran hasilnya tetap tinggi. Pengukuran yang teratur, terutama menjelang persalinan sangat penting.

Terdapat beberapa jenis hipertensi. Hipertensi yang berbahaya adalah eklampsia dan preeklampsia, karena selain hipertensi juga terjadi proteiuria (adanya protein dalam urin). Proteinuria menunjukkan adanya kerusakan fungsi ginjal.

Hipertensi dalam Kehamilan
Oleh dr. I Putu Kusuma Yudasmara


KEHAMILAN adalah suatu peristiwa yang dinantikan oleh setiap wanita yang sudah menikah. Dalam waktu 9 bulan akan dijalani proses kehamilan yang bersejarah bagi masing-masing ibu sampai pada saatnya kelahiran sang buah hati yang sangat dinantikan. Namun tidak semua kehamilan dapat berjalan dengan lancar, terdapat beberapa penyulit yang bisa terjadi pada masa kehamilan ini sehingga dapat mengancam jiwa ibu maupun janin.

Salah satu komplikasi yang sering terjadi adalah hipertensi dalam kehamilan.

Hipertensi dalam kehamilan adalah suatu penyakit yang sering dijumpai pada wanita hamil, di situ ditemukan adanya kelainan berupa peningkatan tekanan darah pada pemeriksaan ibu hamil. Pengukuran tekanan darah sistolik dan diastolic berada di atas 140/90 mmHg, pengukuran sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali dengan selang waktu pengukuran 4 jam.

Kejadian hipertensi dalan kehamilan cukup tinggi ialah 5-15%, merupakan satu di antara tiga penyebab mortalitas (kematian) dan morbiditas (kejadian) ibu bersalin selain infeksi dan pendarahan. Hal itu dikarenakan angka kejadian yang tinggi dan penyakit ini mengenai semua lapisan masyarakat. Termasuk, beberapa waktu terakhir terjadi pada seorang figur publik yang cukup familiar dan sayang sekali nyawanya tidak dapat tertolong.



Berbagai Komplikasi

Penyakit hipertensi dalam kehamilan dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi dari yang paling ringan sampai berat, bahkan kematian dan meliputi berbagai organ. Pada penderita penyakit ini dapat terjadi hipovolemia yaitu kekurangan cairan plasma akibat gangguan pembuluh darah, gangguan ginjal, gangguan hematologis, gangguan hati, gangguan neurologis, dan gangguan penglihatan.

Juga terjadi gangguan kardiovaskular, gangguan pernafasan dan yang paling berat yaitu sindroma HELLP (Hemolisis, Elevated Liver enzyme, Low Platelet count), serta disertai gangguan pada janin mulai dari fetal distress, terhambat pertumbuhan, prematuritas, hingga kematian dalam rahim.

Oleh karena itu penting bagi kita untuk mengenali secara lebih mendalam mengenai penyakit ini. Terdapat banyak teori yang menjelaskan kejadian penyakit ini dan hingga kini semua masih dipercaya sebagai patofisiologi penyakit ini, antara lain teori kelainan pembuluh darah plasenta, teori imunologis, teori defisiensi gizi, teori defisiensi genetik, teori inflamasi, dan teori radikal bebas dan disfungsi endotel pembuluh darah.

Hipertensi dalam kehamilan adalah suatu terminologi luas dan terdapat pembagian di dalamnya, antara lain hipertensi gestasional (hipertensi yang timbul pada kehamilan dan menghilang setelah 12 minggu pascapersalinan), hipertensi kronis (kehamilan yang timbul sebelum umur kehamilan 20 minggu dan menetap 12 minggu pascapersalinan).

Juga preeklamsia (hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai proteinuria atau ditemukannya protein dalam urin), eklamsia (adalah preeklamsia yang disertai dengan kejang atau koma), dan hipertensi kronik superimposed preeklamsia (hipertensi kronis yang disertai dengan preeklamsia)

.



Gejala dan Pengobatan

Gejala yang sering dirasakan oleh penderita adalah nyeri kepala, penglihatan kabur, penglihatan ganda, nyeri di daerah lambung, mual atau muntah. Seringkali gejala subjektif tersebut didapatkan pada preeklamsi berat, jarang ditemukan pada preeklamsi ringan. Sedangkan perubahan yang didapatkan pada penderita antara lain (trias tanda utama): pertambahan berat badan yang berlebihan, bengkak, hipertensi, dan akhirnya proteinuria (ditemukannya protein dalam urin) serta kelainan lain dalam pemeriksaan lab.

Setelah mengenal lebih jauh mengenai definisi dan pembagiannya, selanjutnya yang tidak kalah penting adalah pengobatannya sendiri. Pengobatan ini meliputi terapi primer yaitu pencegahan yang sebenarnya tidak dapat mencegah penyakit ini sepenuhnya, namun dengan diet yang benar (tinggi protein, rendah lemak, kaborhidrat dan garam, konsumsi antioksidan/buah-buahan) dan istirahat yang baik serta pengawasan yang rutin pada kehamilan diharapkan dapat menurunkan insidens penyakit ini.

Apabila penyakit ini telah ditemukan, maka terapi yang diberikan bertujuan untuk mencegah terjadinya preeklamsia berat dan eklamsia dengan menggunakan obat-obatan maupun perubahan pola hidup (diet, merokok, alkohol, dan obat-obatan terlarang), serta melahirkan janin hidup dengan trauma sekecil-kecilnya. Jika penyakit ini sudah ditemukan, maka tujuan utama adalah mencegah kejang, mencegah kerusakan organ lebih lanjut, dan melahirkan bayi sehat.

Mengenai sikap terhadap kehamilan jika penyakit masih pada stadium ringan, maka dapat ditunggu (ekspetatif) hingga usia kehamilan mencukupi. Apabila penyakit berada pada stadium berat, maka sikap pada kehamilan dapat konservatif maupun aktif tergantung ada tidak penyulit. Jika terdapat penyulit, maka sikap aktif diambil dengan terminasi kehamilan. Tentu semua itu dilakukan di pusat-pusat kesehatan ibu dan anak yang memadai serta kerja sama tim yang baik.

Penyakit hipertensi dalam kehamilan adalah salah satu masalah kesehatan yang harus kita hadapi bersama-sama, tidak hanya oleh salah satu pihak saja misalnya tenaga kesehatan saja. Semuanya harus berperan, dimulai dari pasien, keluarga, suami, orangtua pasien, bahwa penyakit ini adalah penyakit yang serius dan harus ditangani dengan baik agar kehamilan dapat berjalan dengan baik dengan ibu selamat dan janin sehat. Sehingga, bersama kita dapat mewujudkan Indonesia sehat 2010.

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Angka Kematian Maternal (AKM) dan Angka Kematian Perinatal (AKP) merupakan parameter keberhasilan dalam pelayanan obstetric. Menurut SKRI tahun 2002 AKM 208/100.000 kelahiran. Disamping perdarahan dan infeksi, preeklampsia, serta eklampsia merupakan penyebab kematian maternal dan kematian perinatal yang tinggi terutama di negara berkembang (Manuaba, 1998)
Preeklampsia adalah suatu kondisi yang spesifik pada kehamilan, terjadi setelah minggu ke 20 gestasi, ditandai dengan hipertensi dan proteinuria. Edema juga dapat terjadi (WHO, 2001).
Preeklampsia ialah suatu kondisi yang hanya terjadi pada kehamilan manusia. Tidak ada profil tertentu yang mengidentifikasi wanita yang akan menderita preeklampsia. Akan tetapi, ada beberapa faktor risiko tertentu yang berkaitan dengan perkembangan penyakit, primigravida, grandemultigravida, janin besar, kehamilan dengan janin lebih dari satu dan obesitas.
Di RSU Dr. Soetomo Surabaya didapatkan kasus ibu hamil dengan preeklampsi sebanyak 65 kasus pada tahun 2005 yang terbagi dalam preeklampsi ringan dengan hipertensi, odema dan proteinuriserro tidak diketahui tidak diketahui atau tidak diperhatikan oleh wanita yang bersangkutan. Tanpa disadari, dalam waktu singkat dapat timbul preeklamsi berat, bahkan eklampsia.
Berdasarkan latar belakang dan faktor risiko di atas, masalah dalam penelitian ini adalah tingginya angka kejadian preeklamsia, Maka penulis merasa perlu untuk mengetahui karakteristik ibu hamil dengan preeklamsi. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengambil judul “studi karakteristik ibu hamil dengan preeklamsia.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Dasar Karakteristik Ibu Hamil
Karakteristik adalah ciri-ciri dari individu yang terdiri dari demografi seperti jenis jenis kelamin, umur serta status sosial seperti, tengkat pendidikan, pekerjaan, ras, status ekonomi dan sebagainya. (Widianingrum , 1999). Menurut Efendi, demografi berkaitan dengan stuktur penduduk, umur, jenis kelamon dan status ekonomi sedangkan data kulturalmengangkat tingkat pendidikan, pekerjaan, agama, adat istiadat, penghasilan dan sebagainya.
2.1.1. Usia
Usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun. (Hurlock , 1995)
2.1.2. Paritas
Banyaknya anak yang dimiliki ibu dimulai dari anak yang pertama sampai anak yang terakhir. (Henderson , 2005). Kondisi rahim dipengaruhi juga oleh jumlah anak yang dilahirkan. (Cristina , 1996)
2.1.3. Pendidikan
Proses pengembangan sikap dan perilaku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran pelatihan.
2.1.4. Berat Badan
Ukuran berat individu dalam satuan kilogaram.
2.2. Konsep Dasar Preeklamsia
2.2.1. Batasan Preeklampsia
Preeklampsia merupakan suatu kondisi spesifik kehamilan dimana hipertensi terjadi setelah minggu ke-20 pada wanita yang sebelumnya memiliki tekanan darah normal. (Bobak , 2004)
Preeklampsi ialah penyakiy dengan tanda-tanda hipertensi, edema dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam triwulan ke-3 kehamilan. Tetapi dapat terjadi sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa.
2.2.2. Etiologi Preeklampsia
Sampai saat ini, etiologi pasti dari Peeeklampsia atau eklampsi belum diketahui. Ada beberapa teori mencoba menjelaskan perkiraan etiologi dari kelainan tersebut diatas, sehingga kelainan ini sering dikenal sebagai the disease of theory. Adapun teori-teori tersebut antara lain :
2.2.2.1. Peran protasiklin dan tromboksan
Pada preeklampsia dan eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler, sehingga terjadi penurunan prostasiklin (PGI2) yang pada kehamilan normal meningkat, aktivasi penggumpalan dan fibrinolisis, yang kemudian akan diganti dengan trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi antitrombin III sehingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit menyebabkan pelepasan tromboksan (TxA2) dan serotonin, sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan endotel.
2.2.2.2. Peran faktor Imunologis
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan tidak timbul lagi pada kehamilan berikutnya. Hal ini dapat diterangkan bahwa pada kehamilan pertama pembentuka blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna, yang semakin sempurna pada kehamilan berikutnya.
2.2.2.3. Peran faktor Genetik/famili
Beberapa bukti menunjukkan peran faktor genetik pada kejadian preeklampsia dan eklampsia antara lain :
a. preeklampsia hanya terjadi pada manusia.
b. terdapatnya kecenderungan meningkatnya frekuensi preeklampsi dan eklampsi pada anak-anak dari ibu yang menderita preeklampsi dan eklampsi.
c. kecenderungan meningkatnya meningkatnya frekuensi preeklampsi dan eklampsi pada anak dan cucu ibu hamil dengan riwayat preeklampsi dan eklampsi.
d. peran Renin Angiostensin Aldosteron System (RAAS)
2.2.3. Patologi Preeklampsia
Preeklampsia ringan jarang sekali menyababkan kematian ibu. Oleh karena itu, sebagian besar pemeriksaan anatomi-patologi berasal dari penderita eklampsia yang meninggal. Pada penyelidikan akhir-akhir ini dengan biopsi hati dan ginjal ternyata bahwa perubahan anatomi-patologi pada alat-alat itu pada penderita preeklampsia tidak banyak berbeda daripada yang ditemukan pada eklampsia. Perlu dikemukakan disisni bahwa tidak ada perubahan histopatologik yang khas pada preeklampsia dan eklampsia. Perdarahan, infark, nekrosis dan trombosis pembuluh darah kecil pada penyakit ini dapat ditemukan dalam berbagai alat tubuh. Perubahan tersebut mungkin sekali disebabkan oleh vasospasmus arteriola. Penimbunan fibrin dalam pembuluh darah merupakan faktor penting juga dalam patogenesis kelainan-kelainan tersebut.
2.2.4. Gambaran Klinik Preeklampsia
2.2.4.1. Hipertensi
Gejala yang terlebih dahulu timbul ialah hipertensi yang terjadi secara tiba-tiba, sebagai batas diambil tekanan darah sistolik 140 mmHg dan diastolik 90 mmHg, tapi juga kenaikan sistolik 30 mmHg atau diastolik 15 mmHg diatas tekanan yang biasa merupakan petanda.
Tekanan darah sistolik dapat mencapai 180 mmHg dan diastolik 11o mmHg, tetapi jarang mencapai 200 mmHg. Jika tekanan drah melebihi 200 mmHg maka sebabnya biasanya hipertensi asensial.
2.2.4.2. Oedem
Timbulnya oedem didahului oleh pertambahan berat badan yang berlebihan. Pertambahan berat 0,5 kg pada seseorang yang hamil dianggap normal, tetapi jika mencapai 1kg per minggu atau 3 kg dalam satu bulan , preeklampsi harus dicurigai. Oedem ini tidak hilang dengan istirahat.
2.2.4.3. Proteinuria
Proteinuria didefinisikan sebagai konsentrasi protein sebesar 0.19/L (> positif 2 dengan cara dipstik) atau lebih dalam sekurang-kurangnya dua kali spesimen urin yang dikumpulkan sekurang-kurangnya dengan jarak 6 jam. Pada spesimen urin 24 jam. Proteinuria didefinisikan sebagai suatu konsentrasi protein 0,3 per 24 jam.
2.2.4.4. Gejala-gejala subyektif
a. sakit kepala yang keras karena vasospasmus atau oedem otak.
b. nyeri ulu hati karena regangan selaput hati oleh haemorhagia atau oedem atau sakit karena perubahan pada lambung.
c. gangguan penglihatan, penglihatan menjadi kabur. Gangguan ini disebabkan karena vasospasme, oedem atau ablasioretina.
2.2.5. Klasifikasi Preeklampsia
2.2.5.1. Preeklampsia ringan.
a. tekanan darah sistolik 140 mmHg atau kanaikan 30 mmHg dengan interval pemeriksaan 6 jam.
b. tekanan darah diastolik 90 mmHg dengan interval pemeriksaan 6 jam.
c. kenaikan berat badan 1 kg atau lebih dalam satu minggu.
d. proteinuria 0,3 gr atau lebih dengan tingkay kualifikasi positif 1 sampai positif 2 pada urin kateter atau urin aliran tengah.
2.2.5.2. Preeklampsia berat
Bila salah satu diantara gejala atau tanda diketemukan pada ibu hanil sudah dapat digolongkan preeklampsia berat :
a. tekanan darah 160/110 mmHg.
b. oliguria, urin kurang dari 400cc/24jam.
c. proteinuria lebih dari 0.3 gr/liter.
d. keluhan subyektif ; nyeri epigastrium, gangguan penglihatan, nyeri kepala, oedem paru dan sianosis, serta gangguan kesadaran.
e. Pemeriksaan ; kadar enzim hati meningkat disertai ikterus, perdarahan pada retina dan trombosit kurang dari 100.000/mm
Peningkatan gejala dan tanda preeklampsia berat memberikan petunjuk akan terjadi eklampsia. Preeklamsia pada tingkat kejang disebut eklampsia.
2.2.6. Diagnosis Preeklampsia
Diagnosis dini harus diutamakan bila diinginkan angka morbiditas dan mortalitas rendah bagi ibu dan bayinya. Walaupun terjadinya preeklampsia sulit dicegah, namun preeklampsia dan eklampsia umumnya dapat dihindari dengan mengenal secara dini penyakit itu dengan penanganan sedini mungkin.
Pada umumnya diagnosis preeklampsia didasarkan atas adanya dua dari trias tanda utama yaitu ; hipertensi, oedem dan proteinuria. Hal ini memang berguna untuk kepentingan statistik, tetapi dapat merugikan penderita karena tiap tanda dapat merupakan petanda meskipun ditemukan tersendiri. Adanya satu tanda harus menimbulkan kewaspadaan karena perkembangan penyakit tidak dapat diramalakan dan bila eklampsi terjadi, maka prognosis bagi ibu maupun janin jauh lebih buruk. Tiap kasus preeklampsi harus ditangani dengan sungguh-sungguh.
Diagnosis diferensial antara preeklampsi dengan hipertensi menahun atau penyakit ginjal tidak jarang menimbulkan kesulitan. Pada hipertensi menahun adanya tekanan darah yang meninggi sebelum hamil, pada kehamilan muda atau 6 bulan postpartum akan sangat berguna untuk membuat diagnosis. Pemeriksaan fundoskopi juga berguna karena perdarahan dan eksudat jarang ditemukan pada preeklampsia, kelainan tersebut biasanya menunjukkan hipertensi menahun. Untuk diagnosis penyakit ginjal saat timbulnya proteinuria banyak menolong, proteinuria pada preeklampsi jarang timbul sebelum triwulan ke-3, sedangkan pada penyakit ginjal timbul lebih dahulu. Test fungsi ginjal juga banyak berguna, pada umumnya fungsi ginjal normal pada preeklampsia ringan.
2.2.7. Penanganan Preeklampsia 2.2.7.1. Preeklampsia ringan
a. jika kehamilan < 37 minggu dan tidak ada tanda-tanda perbaikan, lakukan penilaian 2 kali seminggu secara rawat jalan :  
§ pantau tekanan darah, proteinuria, reflek patela dan kondisi janin
§ lebih banyak istirahat
§ diat biasa
§ tidak perlu diberi obat-obatan
§ jika dirawat jalan tidak mungkin, rawat di rumah sakit :  
- diet biasa
- pantau tekanan darah 2 kalisehari, proteinuria 1 kali sehari
- tidsak perlu obat-obatan
- tidak perlu diuretik, kecuali terdapat oedem paru atau gagal ginjal akut
- jika tekanan distolik turun sampai normal pasien dapat dipulangkan, nasehatkan untuk istirahat dan perhatikan tanda-tanda preeklampsi berat, kontrol 2 kali seminggu, jika tekanan darah diastolik naik lagi, rawat kembali.  
- Jika tidak ada tanda-tanda perbaikan, tetap dirawat.  
- Jika terdapat tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat, pertimbangkan terminasi kehamilan.
 - Jika proteinuria meningkat, tangani sebagai preeklampsia berat.
 b. jika kehamilan > 37 minggu, pertimbangkan terminasi
- jika serviks matang lakukan induksi dengan oksitosin 5 IU dalam 500ml dekstrose IV 10 tetes/menit atau dengan prostaglandin.  
- Jika serniks belum matang, berikan prostaglandin, misoprostol atau kateter foley atau terminasi dengan seksio sesarea.
2.2.7.2. Preeklampsia berat dan eklampsia Penanganan preeklampsia berat dan eklampsia sama, kecuali bahwa persalina harus berlangsung dalam 12 jam setelah timbulnya kejang pada preeklampsia.  
a. penanganan kejang
- berikan obat anti konvulsan
- perlengkapan untuk penanganan kejang ( jalan nafas, sedotan, masker oksigen, dan oksigen)
 - lindungi pasien dari kemungkinan trauma
- aspirasi mulut dan kerongkongan
- baringkan pasien pada sisi kiri, posisi tredelenburg untuk mengurangi aspirasi.
 - Beri oksigen 4-6 liter per menit
b. penangan umum
- jika tekanan diastolik > 110 mmHg, berikan antihipertensi sampai tekanan distolik diantara 90-100 mmH
- pasang infus ringer laktat dengan jarum besar (16 gauge >1)
 - ukur keseimbangan cairan, jangan sampai terjadi overloa
- kateterisasi urin untuk pengeluaran volume dan protein
- jika jumlah urin < 30 ml per jam ; infus cairan dipertahankan 1 1/8 jam, pantau kemungkinan oedem paru
- jangan tinggalkan pasien sendirian, kejang disertai aspirasi dapat mengakibatkan kamatian ibu dan janin
- observasi tanda-tanda vital, refleks patela dan denyut jantung janin setiap jam.
 - Auskultasi paru untuk mencari tanda-tanda oedem paru. Jika ada oedem paru stop pemberian cairan dan berikan diuretik, misalnya furosemide 40 mg IV
- Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan bedside, jika pembekuan tidak terjadi sesudah 7 menit, kemungkinan terdapat koagulopati.
dari berbagai sumber
disusun oleh : R.windy Hapsari
mediague.wordpress.com


PRE-EKLAMPSIA

Pre-eklampsia dan eklampsia merupakan kesatuan penyakit, yang termasuk dalam bagian keenam Subbagian A, yakni yang langsung disebabkan oleh kehamilan, walaupun belum jelas bagaimana halitu terjadi. istilah kesatuan penyakit harus diartikan kedua peristiwa dasarnya sama dan bahwa Eklampsia merupakan peningkatan yang lebih berat dan berbahaya dari Pre-eklampsi, dgn tambahan gejala-gejala tertentu.
Di Indonesia Eklampsia-di samping perdarahan dan infeksi-masih merupakan sebab utama kematian ibu, dan sebab kematian perinatal yang tinggi. oleh karena itu diagnosis dini Pre-eklampsia, yang merupakan tinggkat pendahuluan Eklampsia, serta penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak. perlu ditekankan bahwa sindroma Pre-eklampsia ringgan dengan hipertensi, edema, dan proteinuria sering tidak diketahui atau tidak diperhatikan oleh wanita yang bersangkutan, sehingga tanpa disadari dalam waktu singkat dapat timbul pre-eklampsia berat, bahkan Eklampsi. dengan pengetahuan ini menjadi jelas bahwa pemeriksaan Antenatal, yang teratur dan yang secara rutin mencari tanda-tanda pre-eklampsi, sangat penting dalam usaha pencagahan Pre-eklampsi berat dan Eklampsi.
Pre-eklampsi ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. penyakit ini umunya terjadi dalam triwulan ke-3 kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya, misalnya pada mola Hidatidosa.
Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu daripada tanda-tanda lain. untuk menegakkan diagnosis Pre-eklampsi, kenaikan tekanan sistolik harus 30 mmHg atau lebih diatas tekanan diastolik sebenarnya lebih dapat dipercaya. apabila tekanan diastolik naik dengan 15mm Hg atau lebih, atau menjadi 90mm Hg atau lebih, maka diagnosis hipertensi dapat dibuat. penentuan tekanan darah minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam pada kedaan istirahat.
Edema adalah penimbunan cairan secara umum dan berlebihan dalam jaringan tubuh, dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan serta pembekakan kaki, jari tangan, dan muka. Edema retibial yang ringan sering ditemukan pada kehamilan biasa, sehingga tidak seberapa berarti untuk penentuan diagnosis Pre-eklampsi. kenaikan berat badan 1/2 kg setiap minggu dalam kehamilan masih dapat dianggap nosrmal, tetapi bila kenaikan 1 kg seminggu beberapa kali, hal ini perlu menimbulkan kewaspadaan terhadap rtimbulnya pre-eklampsi.
Proteinuria berarti konsentrasi protein dalam air kencing yang melebihi 0,3 g/liter dalam air kencing 24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan satu atau dua + atau 1g/liter atau lebih dalam air kencing yang dikeluarkan dengan kaketer atau midstream yang diambil minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam. Biasanya proteinuria timbul lebih lambat daripada hipertensi dan kelainana berat badan karena itu harus dianggap sebagai tanda yang cukup serius.
Pre-eklampsi dibagi dalam golongan ringan dan berat. Penyakit digolongkan berat bila 1/ lebih tanda/ gejala dibawah ini ditemukan:
tekanan sistolik 160 mm Hg atau lebih, atau tekanan diastolik 110 mm Hg atau lebih.
Proteinuria 5 g atau lebih dalam 24 jam, 3 atau 4= pada pemeriksaan kualitatif
oliguria, air kencing 400 ml atu kurang dalam 24 jam.
Keluhan serebral, gangguan penglihatan atau nyeri di daerah epigastrium
edema paru-paru atau sianosis.

ETIOLOGI

Apa yang menjadi per-eklampsi dan Eklampsi sampai sekarang belum diketahui. telah terdapat banyak teori yang menyoba menerangkan sebab-sebab penyakit tersebut, akan tetapi tidak ada yang dapat memberi jawaban yang memuaskan. teori yang dapat diterima harus dapat menerangkan hal-hal berikut:(1) sebab bertambahnya frekuensi pada primigravida, kehamilan ganda, hiramnion, dan mola hidatidosa; (2) sebab bertambahnya frekuensi makin tuanya kehamilan; (3) sebab dapat terjadinya perbaikan keadaan penderita dengan kematian janin dalam uterus; (4) sebab jarangnya terjadi Eklampsia pada kehamilan-kehamilan berikutnya; dan (5) sebab timbulnya hipertensi, edema, proteinuria, kejang, dan koma.

PATOLOGI

Pre-eklampsi ringan jarang sekali memyebabkan kematian ibu. oleh karena itu sebagian besar pemeriksaan anatomi-patologi berasal dari penderita eklampsia yang meninggal. pada penyelidikan akhir-akhir ini dengan biopsi hati dan ginjal ternyata bahwa perubahan anatomi-patologi pada alat-alat itu pada Pre-Eklampsia dan eklampsia. perdarahan infark, nekrosis, dam trombosis pembuluh darah kecil pada penyakit ini dapat ditemukan dalam berbagai alat tubuh. perubahan tersebut mungkin sekali disebabkan oleh vasospasmus arteriola. penimbunan fibrin dalam pembuluh darah merupakan faktor penting juga dalam patogenesis dan kelainan-kelainan tersebut.

PERUBAHAN ANATOMI-PATOLOGI

Plasenta. Pada Pre-eklamsia terdapat spasmus arteriola spiralis desidua dengan akibat menurunnya darah ke plasenta. perubahan plasenta normal sebagai akibat tuanya kehamilan, seperti menipisnya sinsitium, menebalnya dinding-dinding pembuluh darah dalam villi karena fibrosis, dan hipertensi, dan konversi mesoderm menjadi jaringan fibrotik, dipercepat prosesnya pada Pre- eklampsi dan hipertensi. pada Pre-eklampsia yang jelas ialah atrofi sinsitium, sedangkan pada hipertensi menahun terdapat terutama perubahan pada pembuluh darah dan stroma. Arteria spiralis mengalami kontriksi dan penyempitan, akibat aterosis akut disertai necrotizing arteriopathi.
Ginjal. Alat ini besarnya normal pada simpai ginjal dan pada pemotongan mungkin ditemukan perdarahan-perdarahan kecil.
Penyelidikan biopsi pada ginjal oleh Altchek dan kawan-kawan (1968) menunjukkanpada Pre-eklampsi bahwa kelainan berupa: (1) kelainan glomereulus;(2) hiperplasia sel-sel jukstaglomeruler; (3) kelainan pada tubulus-tubulus Henle; (4) spasmus pembuluh darah ke glomerulus.
Glomerulus tampak sedikit membengkak dengan perubahan-perubahan sebagai berikut; a) sel-sel diantara kapiler bertambah; b) tampak dengan mikroskop biasa bahwa membran basalis dinding kapiler glomerulus seolah-olah terbelah, tetapi ternyata keadaan tersebut dengan mikroskop elektron disebabkan oleh bertambahnya matriks mesangial; c) sel-sel kapiler membengkak dan lumen menyempit dan tidak ada; d) penimbunan zat protein berupa serabut ditemukan dalam kapsel Bowman.
Sel-Sel jukstaglomulertampak membesar dan bertambah dengan pembengkakan sitoplasma sel dan bervakuolisasi.
Epitel tubulus-tubulus Henle berdeskuamasi hebat; tampak jelas fragmen inti sel terpecah-pecah. pembengkakan sitoplasma dan vakuolisasi nyata sekali. pada tempat lain tampak regenerasi.
Perubahan-perubahan tersebutlah tampaknya yang menyebabkan proteinuria dan mungkin sekali ada hubungannya dengan retensi garam dan air. sesudah persalinan berakhir, sebagian besar perubahan yang digambarkan menghilang, hanya kadang-kadang ditemukan sisa-sisa penambahan matriks mesangial.
Hati. alat ini besarnya normal, pada permukaan dan pembelahan tampak tempat-tempat perdarahan yang tidak teratur.
pada pemeriksaan mikroskopik dapat ditemukan perdarahan dan netrosis pada tepi tubulus, disertai trombosis pada pembuluh darah kecil, terutama disekitar vena porta. walaupun umumnya lokasi ialah periportal, namun perubahan tersebut dapat ditemukan ditempat-tempat lain. dalam pada itu, rupanya tidak ada hubungan langsung antara berat penyakit dan luas perubahan pada hati.
Otak. Pada penyakit yang belum lanjut hanya ditemukan edemadan anemia pada korteks serebri; pada keadaan lanjut dapat ditemukan perdarahan.
Retina. Kelainan yang sering ditemukan pada retina ialah spasmus pada arteriola-arteriola, terutama yang dekat pada duktus optikus. Vena tampak lekuk pada persimpangan dengan arteriola. Dapat terlihat edema pada duktus optikus dan retina.
Ablasio retina juga dapat terjadi, tetapi komplikasi ini prognosisnya baik, karena retina akan melekat lagi. Beberapa minggu postpartum. Perdarahan dan eksudat jarang ditemukan pada pre-eklampsi, biasanya kelainan tersebut menunjukkan adanya hipertensi menahun.
Paru-paru. Paru-paru menunjukkan berbagai tingkat edema dan perubahan karena bronkopneumonia sebagai akibat aspirasi. Kadang-kadang ditemukan abses paru-paru.
Jantung. Pada sebagian besar penderita yang mati karena eklampsia jantung biasanya mengalami perubahan degeneratif pada miokardium. Sering ditemukan degenerasi lemak dan cloudy swelling serta nekrosis dan perdarahan. Sheehan (1958) menggambarkan perdarahan subendrokardial di sebelah kiri septum interventrikuler pada kira-kira dua pertiga penderita eklampsia yang meninggal dalam 2 hari pertama setelah timbulnya penyakit.
Frekuensi
frekuensi pre-eklampsi untuk tiap negara berbeda-beda karena banyak faktor yang mempengaruhinya, jumlah primigravida, keadaan sosial-ekonomi, perbedaan kriteria dalam menentukan diagnosa, dan lain-lain. Dalam kepustakaan frekuensi dilaporkan berkisar antara 3-10 %.
pada primigravida frekuensi pre-eklampsi lebh tinggi bila dibandingkan dengan multigravida, terutama primigravida muda. Diabetes melitus, mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, umur lebih dari 35 tahun, dan obesitas merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya pre-eklampsi.
      •  
  • Tag
  • free hit counter javascript
  • Slideshow
  •  
Gallery
green-sea-turtle1a.jpghumor-islao.jpgfunny-pictures259.jpgfunny-pictures151.jpg
Hipertensi dalam kehamilan
1. langsung disebabkan kehamilan
2. tidak disebabkan kehamilan
Pre-Eklampsia dan Eklampsia
  • merupakan satu kesatuan penyakit
  • penyebab kematian ibu utama setelah perdarahan dan infeksi
  • tanda2 pre eklampsia: hipertensi, edem, proteinuria
  • pre eklampsia dibagi dua: berat dan ringan
Pre-eklampsia berat
jika ada minimal 1 tanda berikut:
  • sistolik ≥ 160 diastolik ≥ 110
  • proteinuria ≥ 5 g dlm 24 jam, +3 atau +4 pd pemeriksaan kualitatif
  • oliguria ≤400 ml dlm 24 jam
  • keluhan serebral, ggn penglihatan, nyeri epigastrium
  • edem paru atau sianosis
Etiologi
  • belum diketahui pasti
  • teori yang paling bisa diterima: iskemia plasenta
Fenomena yang Perlu dicari Jawabannya
  • frekuensi meningkat pd primigraviditas, kehamilan ganda, hidramnion, mola
  • frekuensi meningkat dgn makin tuanya kehamilan
  • trejadi perbaikan dengan matinya janin dalam uterus
  • jarang terjadi pd kehamilan2 berikutnya
  • timbul gejala edem, hipertensi, proteinuria, kejang, koma
Patologi
  • perdarahan, infark, nekrosis, trombosis pembuluh darah kecil pd berbagai organ tubuh
  • penyebab: vasospasmus arteriole, penimbunan fibrin dlm pembuluh darah
Organ2 yg Mengalami perubahan anatomi-patologik
  • plasenta
  • ginjal
  • hati
  • otak
  • retina
  • paru-paru
  • jantung
  • kelenjar adrenal
Perubahan fisiologi patologik
  • plasenta dan uterus
  • ginjal
  • retina
  • paru-paru
  • otak
  • metabolisme air dan elektrolit
PRE EKLAMPSIA
Predisposisi
  • primigravida, terutama primigravida muda
  • DM
  • Mola
  • kehamilan ganda
  • hidrops fetalis
  • umur ibu lbh dr 35 thn
  • obesitas
Gambaran Klinik
  • pertambahan berat badan yg berlebihan
  • edem
  • hipertensi
  • proteinuria
Pre eklampsia berat:
  • tensi makin tinggi
  • edem makin umum
  • proteinuria tambah banyak
  • sakit kepala daerah frontal
  • skotoma
  • diplopia
  • penglihatan kabur
  • nyeri epigastrium
  • mual/muntah
Diagnosis
  • adanya 2 di antara trias tanda utama: hipertensi, edem, proteinuria
  • jika ada satu tanda, harus waspada.
Diagnosis Diferensial
  • hipertensi menahun: adanya perdarahan dan eksudat pada funduskopi
  • penyakit ginjal: proteinuria timbul lbh awal, sebelum triwulan ke-3
Pencegahan
  • pemeriksaan antenatal yang teratur
  • istirahat dan mengurangi pekerjaan sehari-hari, lbh byk duduk dan berbaring
  • diet tinggi protein rendah lemak, karbohidrat, garam
  • penambahan berat badan yg tidak berlebihan
Penanganan
Tujuan
  • mencegah pre eklampsia berat dan eklampsia
  • melahirkan janin hidup
  • melahirkan janin dg trauma sekecil2nya
Terdiri dari:
  • penanganan medis : menunggu selama mkn sp janin cukup matur
  • penanganan obstetris : melahirkan bayi pd saat yg optimal
Indikasi rawat RS:
  1. tensi ≥140 sistol, ≥90 diastol
  2. proteinuria 1+ atau lbh
  3. BB naik ≥1,5 kg perminggu yg berulang
  4. penambahan edem yg tiba2
Perawatan di RS:
  1. anamnesis, pmx umum, pmx obstetrik, pmx laboratoris rutin
  2. tekanan darah, air kencing, BB diperiksa tiap hari, edem dicari
  3. balans cairan ditentukan tiap hari
  4. funduskopi pd waktu pertama masuk RS kmd setiap 3 hari
  5. keadaan janin diperiksa tiap hari dan besarnya dinilai
  6. hematokrit diperiksa berulang2
  7. penderita diminta utk memberitahu jika sakit kepala, mual,nyeri epigastrium atau ggn penglihatan
Cara Pengakhiran Kehamilan:
  1. induksi persalinan
  2. seksio sesarea
Indikasi Pengakhiran Kehamilan:
  1. pre eklampsia ringan dg kehamilan lebih dari/cukup bulan
  2. pre eklampsia dg dg hipertensi dan/atau proteinuria menetap selama 10-14 hari, dan janin sudah cukup matur
  3. pre eklampsia berat
  4. eklampsia
Penanganan Pre eklampsia Ringan
  • Istirahat di tempat tidur dg berbaring ke arah sisi tubuh
  • fenobarbital 3×30 mg per hari (menenangkan penderitaan dan menurunkan tensi)
  • pengurangan garam dalam diet
  • pemakaian diuretik dan antihipertensi tidak dianjurkan
  • jika tidak ada perbaikan dan tensi terus mningkat, retensi cairan dan proteinuria bertambah maka pengakhiran kehamilan dilakukan meskipun janin msh prematur
Penanganan Pre eklampsia Berat
  • pasien datang dg pre eklampsia berat
  • beri sedativa yg kuat utk mcegah kejang:
  1. larutan sulfas magnesikus 50% sebanyak 10 ml disuntikkan im, dapat diulang 2 ml tiap 4 jam
  2. lytic cocktai, yakni larutan glukosa 5% sebanyak 500 ml yg berisi petidin 100mg, klorpromazin 100mg, prometazin 50 mg sebagai infus intravena
  • perlu obat hipotensif
  • jika oliguria, beri glukosa 20% iv
  • diuretik tdk rutin, hanya bila retensi air banyak
  • setelah bahaya akut berakhir, dipertimbangkan utk menghentikan kehamilan
Persalinan pada Pre Eklampsia
  • pre eklampsia berat lbh mudah menjadi eklampsia pd saat persalinan
  • perlu analgetika dan sedativa lebih banyak
  • persalinan hendaknya dengan cunam atau ekstraktor vakum dg narkosis umum utk menghindari rangsangan pd ssp
  • anestesia lokal bila tensi tdk terlalu tinggi dan penderita masih somnolen krn pengaruh obat
  • pemberian ergometrin rutin pd kala III tidak dianjurkan, kecuali ada perdarahan post partum krn atonia uteri
  • obat penenang diteruskan sampai 48 jam post partum, kmd dikurangi bertahap dalam 3-4 hari
  • Pada gawat janin dalam kala I dilakukan segera seksio sesaria
  • Pada gawat janin dalam kala II dilakukan ekstraksi dg cunam atau ekstraktor vakum
  • post partum bayi sering menunjukkan tanda2 asfiksia neonatorum maka perlu resusitasi
EKLAMPSIA
  • timbul serangan kejangan yg diikuti koma
Macam
  1. eklampsia gravidarum
  2. eklampsia parturientum
  3. eklampsia puerperale
Gejala dan Tanda
  • didahului memburuknya pre eklampsia dan timbul gejala2 nyeri kepala frontal, nyeri epigastrium, ggn penglihatan, mual, hiperrefleksia.
  • jika gejala ini tidak dikenali dan diatasi akan segera timbul kejangan, dgn 4 macam tingkat:
  1. awal/aura
  2. tonik
  3. klonik
  4. koma
  • selama serangan tensi meningkat, nadi cepat, suhu meningkat sampai 40ºC
Komplikasi Kejang:
  • lidah tergigit, perlukaan dan fraktur
  • ggn pernafasan
  • solutio plasenta
  • perdarahan otak
DD :
  1. epilepsi
  2. kejangan karena obat anestesia
  3. koma krn sebab lain: diabetes, perdarahan otak, meningitis, ensefalitis, dsb
Komplikasi Pre Eklampsia Berat dan Eklampsia
  1. kematian ibu dan janin
  2. solutio plasenta
  3. hipofibrinogenemia
  4. hemolisis
  5. perdarahan otak
  6. kelainan mata (kehilangan penglihatan sementara)
  7. edem paru-paru
  8. nekrosis hati
  9. kelainan ginjal
  10. komplikasi lain spt lidah tergigit, trauma dan fraktur krn jatuh akibat kejang, pneumonia aspirasi
  11. prematuritas, dismaturitas, kematian janin intra uterin
Penanggulangan
  • Tujuan: menghentikan berulangnya kejangan dan mengakhiri kehamilan secepatnya dg cara aman stlh keadaan ibu mengijinkan
  • harus dirawat di RS
  • obat penenang yg cukup saat pengangkutan ke RS (petidin 100 mg) dan seorang yg tahu ttg resusitasi
  • obat2 utk mencegah kejangan:
  1. sodium penthotal
  2. diazepam
  3. sulfas magnesicus
  4. lytic cocktail
  • jumlah dan waktu pemberian obat disesuaikan dg kondisi penderita tiap jam
  • hindarkan dr semua rangsang spt cahaya terang, keributan, injeksi atau pemeriksaan dalam
  • dirawat di kamar isolasi yang tenang
  • tekanan darah, nadi, pernafasan dicatat tiap 30 menit
  • suhu diukur tiap jam scr rektal
  • penderita dg koma diletakkan pd posisi trendelendburg
  • alat penyedot disediakan utk membersihkan jalan nafas
  • oksigen diberikan pd sianosis
  • penisilin-streptomisin tiap 12 jam mencegah infeksi paru2
  • dauer catheter utk mengetahui diuresis dan pmx protein urin scr kuantitatif
  • balans cairan dilakukan tiap 6 jam
  • kalori yg adekuat (infus glukosa hipertonik, fruktosa atau larutan asam amino spt aminofusin)
Tindakan Obstetrik
  • setelah kejangan diatasi dan KU diperbaiki
  • mengakhiri kehamilan atau mempercepat persalinan
  • persalinan pervaginam adalah cara terbaik bila dpt dilaksanakan dg cepat dan aman
  • pd eklampsia gravidarum perlu diadakan induksi dgn amniotomi dan infus pitosin setelah bebas kejang selama 12 jam dan keadaan serviks mengijinkan.
  • bila serviks msh lancip dan tertutup terutama pd primigravida, kepala janin msh tinggi, atau ada persangkaan disproporsi sefalopelvik, sebaiknya sesar.
  • jk persalinan sudah pada kala I dilakukan amniotomi utk mempercepat partus
  • lakukan ekstraksi vakum atau cunam
  • anestesi lokal bisa dipakai jk sudah sedasi berat, anestesi spinal sebaiknya tidak digunakan krn dpt menyebabkan hipotensi yg bahaya pd eklampsia
  • penderita eklampsia tdk seberapa tahan thd perdarahan postpartum atau trauma obstetrik, shg semua tind obstetrik hrs seringan mkn dan sedia darah.
  • metergin boleh diberikan pd perdarahan postpartum krn atonia uteri.
  • stlh kelahiran pengobatan danp erawatan intensif hrs diteruskan utk 48 jam.

Jumat, 24 Juli 2009

MANFAAT MGSO4 DALAM PENGENDALIAN KEJANG PADA PREEKLAMPSIA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Preeklamsia tergolong kehamilan risiko tinggi. Morbiditas dan mortalitas maternal dan perinatal sering terjadi pada penderita yang keadaannya jelek dan terlambat dirujuk ke rumah sakit. Preeklampsia adalah salah satu penyebab utama kematian maternal di negara berkembang, kurang lebih 15 – 20% dari seluruh angka kematian maternal. Preeklampsia menimbulkan banyak komplikasi baik yang akut dan muncul kemudian, kematian perinatal dan Intrauterine Growth Restriction (IUGR). (5)
Angka kematian maternal di Indonesia adalah 4,5 per juta penduduk, tertinggi di antara negara-negara ASEAN. Salah satu penyebab kematian tersebut adalah preeklampsia - eklampsia, yang bersama infeksi dan perdarahan, diperkirakan mencakup 75 - 80% dari keseluruhan kematian maternal. Berdasarkan hasil survai yang dilakukan oleh Angsar, insiden preeklampsia-eklampsia berkisar 10-13% dari keseluruhan ibu hamil. Di dua rumah sakit pendidikan di Makassar insiden preeklampsia berat 2,61%, eklampsia 0,84% dan angka kematian akibatnya 22,2°% (4). Angka kejadiannya di beberapa rumah sakit di Indonesia cenderung meningkat yaitu 1-1,5% pada sekitar 1970-1980 meningkat menjadi 4,1-14,3% sekitar 1990-2000. Menurut WHO pada 1987 angka kejadian preeklamsia sekitar 0,51-38,4%.
Di negara Inggris kelainan preeklampsia-eklampsia relatif jarang, tetapi menimbulkan komplikasi kehamilan yang serius dengan insidensi 5/ 1000 wanita hamil menderita preeklampsia berat(2) dan 5/ 10.000 menderita eklampsia (3). Angka kematian yang disebabkan oleh eklampsia mencapai 1,8% dan 35% menderita komplikasi-komplikasi lainnya. (3)
Pada dasarnya penanganan preeklamsia terdiri atas pengobatan medik dan penanganan obstetrik. Tujuan utama penanganan adalah mencegah terjadinya preeklamsia berat dan eklamsia, melahirkan janin hidup, melahirkan janin dengan trauma sekecil-kecilnya. (6)
Sedangkan tujuan pengobatan eklamsia adalah menghentikan berulangnya serangan kejang dan mengakhiri kehamilan secepatnya dengan cara yang aman setelah keadaan ibu mengijinkan. Pengobatan dilakukan salah satunya dengan pemberian MgSO4 untuk mencegah atau menghentikan kejang (seizure) yang terjadi pada preeklamsia dan eklamsia. Pada kasus preeklampsia berat dan eklampsia, preparat magnesium sulfat yang diberikan secara parenteral merupakan antikonvulsan yang paling berkhasiat seperti dibuktikan oleh pengalaman pada banyak klinik selama bertahun-tahun. Magnesium sulfat dapat diberikan intramuskuler secara intermiten atau intravena melalui infus. (6)
B. Tujuan Penulisan
Mengetahui tentang definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi dan diagnosis preeklamsia dan eklamsia
Mengetahui penggunakan MgSO4 dalam pengendalian kejang pada preeklamsia eklamsia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
  1. PREEKLAMPSIA - EKLAMPSIA
  1. Definisi
Preeklamsia adalah sindroma spesifik dalam kehamilan yang menyebabkan perfusi darah ke organ berkurang karena adanya vasospasmus dan menurunnya aktivitas sel endotel. (1)
Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang dan atau koma. Sebelumnya wanita tadi menunjukan gejala-gejala preeklampsia. (Kejang-kejang timbul bukan akibat kelainan neurologis).(7)

Etiologi

Sampai saat ini, etiologi pasti dari preeklampsia/eklampsia belum diketahui. Ada beberapa teori mencoba menjelaskan etiologi dari kelainan tersebut di atas, sehingga kelainan ini sering dikenal ”the diseases of theory” . Adapun teori-teori tersebut antara lain:
a. Peran prostasiklin dan Tromboksan.
Pada preeklampsia-eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler, sehingga terjadi penurunan produksi prostasiklin (PGI2) yang pada kehamilan normal meningkat, aktivasi penggumpalan dan fibrinolisis, yang kemudian akan diganti dengan trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi anti trombin III sehingga akan terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit menyebabkan pelepasan tromboksan (TxA2) dan serotonin, sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan endotel. (8)
b. Peran faktor imunologis
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan tidak timbul lagi pada kehamilan berikutnya. Hal ini dapat diterangkan bahwa pada kehamilan pertama pembentukan blocing antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna, yang semakin sempurna pada kehamilan berikutnya. (8)
Fierlie F.M. (1992) mendapatkan beberapa data yang mendukung adanya sistem imun pada penderita preeklampsia dan eklampsia :
Beberapa wanita dengan preeklampsia – eklampsia mempunyai komplek imun dalam serum.
Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi sistim komplemen pada preeklampsia-eklampsia diikuti oleh proteinuria. (8)
Stirat (1986) menyimpulkan, meskipun ada beberapa pendapat menyebutkan bahwa sistim imun humoral dan aktivasi komplemen terjadi pada preeklampsia-eklampsia, tetapi tidak ada bukti bahwa system imunologi bisa menyebabkan preeklampsia-eklampsia. (8)
c. Peran faktor genetis / familial (8)
Beberapa bukti yang menunjukan peran faktor genetik pada kejadian preeklampsia-eklampsia antara lain :
    1. Preeklampsia hanya terjadi pada manusia
    2. Terdapat kecenderungan meningkatnya frekuensi preeklampsia-eklampsia pada anak-anak dari ibu yang menderita preeklampsia-eklampsia.
    3. Peran Renin-Angiotensin –Aldosteron system (RAAS)
Telah terdapat banyak teori yang mencoba menerangkan sebab pre eklampsia-eklampsia, akan tetapi tidak ada yang dapat memberikan jawaban yang memuaskan. Teori yang dapat diterima harus dapat menerangkan hal – hal berikut :
  1. Sebab bertambahnya frekuensi pada primi graviditas, kehamilan ganda, hidramnion dan mola hidatidosa
  2. Sebab bertambahnya frekuensi dengan makin bertambah tuanya kehamilan
  3. Sebab dapat terjadinya perbaikan keadaan penderita dengan kematian janin dalam uterus
  4. Sebab jarang terjadinya pre eklampsia pada kehamilan berikutnya
  5. Sebab timbulnya hipertensi, udema, proteinuria, kejang, dan koma.
Teori yang dewasa ini banyak dikemukakan sebagai sebab pre eklampsia adalah iskemia plasenta. Akan tetapi dengan teori ini tidak dapat diterangkan semua hal yang berkaitan dengan penyakit tersebut. Rupanya tidak hanya satu faktor, melainkan banyak faktor yang menyebabkan pre eklampsia dan eklampsia. Diantara faktor – faktor yang ditemukan seringkali sukar ditentukan mana yang sebab dan mana yang akibat.(6)
  1. Faktor Resiko
Usia
Insiden tinggi pada primigravida muda dan meningkat pada primigravida tua. Pada wanita hamil usia kurang dari 25 tahun insidensi > 3 kali lipat. Pada wanita hamil berusia > 35 tahun dapat terjadi hipertensi laten3
Paritas
Angka kejadian tinggi pada primigravida, muda maupun tua. Primigravida tua resiko lebih tinggi untuk pre eklampsia berat
Ras / golongan / etnik
Bias ( mungkin ada perbedaan perlakuan / akses terhadap berbagai etnik di berbagai negara )
Faktor keturunan
Jika ada riwayat pre eklampsia / eklampsia pada ibu, nenek, faktor resiko meningkat sampai + 25 %
Faktor gen
Diduga adanya suatu sifat resesif yang ditentukan ibu dan janin
Diet dan gizi
Tidak ada hubungan bermakna antar menu / pola diet tertentu ( WHO ). Penelitian lain : kekurangan kalsium berhubungan dengan angka kejadian yang tinggi. Angka kejadian juga lebih tinggi pada ibu hamil yang obese / overweight.
Iklim / musim
Di daerah tropis insiden lebih tinggi
Tingkah laku / sosial-ekonomi
Kebiasaan merokok : insiden pada ibu perokok lebih rendah, namun merokok selama hamil memiliki resiko kematian janin dan pertumbuhan janin terhambat yang jauh lebih tinggi. Aktivitas fisik : istirahat baring yang cukup selama hamil mengurangi kemungkinan / insiden hipertensi dalam kehamilan.
Hiperplasentosis
Proteinuria dan hipertensi gravidarum lebih tinggi pada kehamilan kembar, dizigotik lebih tinggi daripada monozigotik
Hidropsfetalis : berhubungan, mencapai sekitar 50 % kasus.
Diabetes mellitus: Angka kejadian yang ada kemungkinan patofisiologinya bukan pre eklampsia murni, melainkan disertai kelainan ginjal / vaskuler primer akibat diabetesnya
Mola Hidatidosa: diduga degenerasi trofoblast berlebihan berperan menyebabkan pre eklampsia. Pada kasius mola, hipertensi dan proteinuria terjadi lebih dini / pada usia kehamilan muda, dan ternyata hasil pemeriksaan patologi ginjal juga sesuai dengan pre eklampsia.(9)
  1. Patofisiologi
Terdapat tiga lesi patologis mayor yang terutama berhubungan dengan preeklamsia-eklamsia, yaitu :
Perdarahan dan nekrosis pada banyak organ, mungkin akibat konstriksi arteriol
Endoteliosis kapiler glomerolus
Tiadanya desidualis segmen miometrium pada arteri spiralis.
Vasospasme arteriolar yang lamanya relative pendek (1 jam) dapat menyebabkan hipoksia dan nekrosis pada sel parenkim yang peka. Vasospasme yang berlangsung lebih dari (3 jam) dpat menyebabkan infrak pada organ-organ yang vital misalnya : hati, plasenta, otak. Pada hati, nekrosis peri portal dan pendarahan dapat terjadi dengan hematom subkapsuler yang merupakan komplikasi yang langka. Pada otak, daerah fokal perdarahan dan nekrosis dapat terjadi. Pada retina jendela klinik terhadap vaskulatur arteri, vasospasme dapat dilihat pada pemeriksaan oftalmoskopik. Perdarahan retina dianggap sebagai tanda yang sangat tidak menyenangkan, karena ini dapat mengisaratkan fenomena yang serupa pada organ yang lain.
Lesi ginjal yang khas dari preeklamsia-eklamsia adalah “endoteliosis kapiler glomerolus”, kelainan ini di tunjukkan oleh pembengkakan yang nyata pada endothelium kapiler glomerulus, dengan endapan bahan fibrinoid di bawah sel endotel. Pada mikroskopi cahaya, diameter glomerulus meningkat, dengan tonjolan keluar pada berkas glomerulus ke leher tubulus proksimal dan dengan berbagai tingkat pembengkaan sel endotel dan mesangial.
Patologi uteroplasenta pada preeklamsia-eklamsia ditandai dengan tiadanya desidualis segmen miometrium pada arteri spiralis. Dalam keadaan normal, serbuan trofoblas mengakibatkan penggantian lapisan otot dan lapisan elastis pada arteri spiralis oleh jaringan fibrinoid dan fibrosa, menghasilkan saluran berliku-liku yang besar yang berekstensi melalui miometrium. Pada preeklamsia, perubahan ini terbatas pada segmen desidua pembuluh darah dan dapat mengakibatkan reduksi diameter segmen miometrium pada arteri spiralis. Sebesar 60% tingkat infrak plasenta meningkat pada hampir semua kehamilan.
Sirkulasi uterus, koriodesidua dan plasenta:
Terjadi iskemia uteroplasenter, menyebabkan ketidakseimbangan antara massa plasenta yang meningkat dengan aliran perfusi darah sirkulasi yang berkurang.
Hipoperfusi uterus menjadi rangsangan produksi renin di uteroplasenta, yang mengakibatkan vasokonstriksi vaskular daerah itu. Renin juga meningkatkan kepekaan vaskular terhadap zat-zat vasokonstriktor lain (angiotensin, aldosteron) sehingga terjadi tonus pembuluh darah yang lebih tinggi.
Karena gangguan sirkulasi uteroplasenter ini, terjadi penurunan suplai oksigen dan nutrisi ke janin. Akibatnya bervariasi dari gangguan pertumbuhan janin sampai hipoksia dan kematian janin.
  1. Gambaran Klinis
Kenaikan tekanan darah
Kelainan dasar pada preeklamsia adalah vasospasme arteriol sehingga peringatan awal yang paling bisa diandalkan adalah peningkatan tekanan darah. Tekanan diastolik merupakan tanda prognostik yang lebih utama yaitu 90 mmHg atau lebih yang bila diperhatikan lebih teliti mencerminkan perubahan resistensi pembuluh darah perifer.
Kenaikan berat badan dan edema
kenaikan berat badan yang abnormal dan edema terjadi secara dini dan mencerminkan pemuaian ini berkaitan dengan peningkatan permeabilitas kapiler yang ditimbulkan oleh vasokonstriksi arteriol. Peningkatan permeabilitas kapiler memungkinkan cairan berdifusi dari ruang intravaskuler sehingga mengakibatkan pemuaian ruang ekstrasel.kenaikan berat badan yang terlalu banyak dan edema, khususnya kalau terbatas pada tungkai bawah, tidak menetapkan diagnosis preeklamsia. Edema yang mencakup muka dan tangan perlu diperhatikan tapi masih bukan diagnosis. Peningkatan berat badan sekitar 1 pon (0,45) perminggu adalah normal namun bila melebihi 2 pon dalam seminggu, atau 6 pon dalam sebulan kemungkinan preeklamsia perlu dicurigai.
Proteinuria
Proteinuria pada preeklamsia dapat diterangkan berdasarkan konstriksi arteriol aferen dengan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein. Pada preeklamsia awal, proteinuria mungkin hanya minimal atau tidak di temukan sama sekali. Pada kasus yang paling berat, proteinuria biasanya dapat ditemukan dan dapat mencapai 10 gr/liter.
Gangguan penglihatan
Gangguan penglihatan bermacam-macam, dari mulai pandangan sedikit kabur, skotoma hingga kebutaan sebagian atau total dapat menyertai preeklamsia. Gangguan penglihatan ini mungkin disebabkan oleh vasospasme, iskemi dan pendarahan petekie pada korteks oksipital. Pada sebagian wanita keluhan penglihatan terganggau dapat disebabkan oleh spasme arteriol, iskemia dan edema retina, dan pada kasus-kasus yang langka disebabkan ablasio retina.
Nyeri kepala
Jarang ditemukan pada kasus ringan, tetapi akan semakin sering pada kasus –kasus yang lebih berat. Nyeri kepala sering pada daerah frontal dan oksipital, dan tidak sembuh dengan pemberian analgesik biasa. Pada wanita hamil yang mengalami serangan eklamsia, nyeri kepala hebat hampir di pastikan mendahului serangan kejang pertama.
F. Nyeri epigastrium
Nyeri epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas merupakan keluhan yang sering ditemukan pada preeklamsia berat dan dapat menunjukkan serangan kejang yang akan terjadi. Keluhan ini disebaabkan oleh regangan kapsula hepar akibat edema atau pendarahan.
  1. Diagnosis
Diagnosis dini harus diutamakan bila diinginkan morbiditas dan mortalitas rendah bagi ibu dan anaknya. Walaupun terjadi preeklamsia sukar dicegah, namun preeklamsia berat dan preeklamsia biasanya dapat dihindarkan dengan mengenal secara dini penyakit itu dan dengan penanganan secara sempurna.
Diagnosis preeklamsia ditegakkan berdasarkan:
Peningkatan tekanan yang lebih besar atau sama dengan 140/90 mmHg
Atau peningkatan tekanan sistolik > 30 mmHg atau diastolik > 15 mmHg
Atau peningkatan mean arterial pressure > 20 mmHg atau MAP.> 105 mmHg
Proteinuria signifikan , 300 mg/ 24 jam atau > 1 g/ml
Diukur 2 kali pemeriksaan dengan jarak waktu 6 jam
Udema umum atau peningkatan berat badan ideal
Tekanan darah idealnya diukur setelah pasien istirahat 30 menit. Bila tekanan darah mencapai atau > 160/110 mmHg, preeklamsia termasuk kriteria berat jika terdapat gejala lain seperti disebut diatas
Kriteria diagnosis preeklamsia berat
Tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau diastolik > 110 mmHg
Proteinuria sama dengan 5 atau + 3 pada tes celup strip
Oliguria, diuresis <>
Sakit kepala hebat dan gangguan penglihatan
Nyeri epigastrium atau kuadran kanan atas abdomen atau ada ikterus
Udema paru atau sianosis
Trombositopenia
Pertumbuhan janin yang terhambat
Preeklamsia dapat berlanjut ke keadaan yang lebih berat yaitu eklamsia. Eklamsia adalah keadaan preeklamsia yang disertai kejang. Adanya satu tanda harus menimbulkan kewaspadaan, dan apabila eklamsia terjadi maka prognosis bagi ibu dan bagi janinnya menjadi lebih buruk.
Gejala klinis preeklamsia dapat bervariasi sebagai akibat patologi kebocoran kapiler dan vasospasme yang mungkin tidak disertai dengan tekanan darah yang terlalu tinggi, misalnya dapat dijumpai ascites, peningkatan enzim hati, koagulasi intravaskuler, sindroma HELLP (hemolisis elevated liver enzyme low platelets) dan pertumbuhan janin terhambat. Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik, pada kecurigaan preeklamsia sebaiknya diperiksa juga :
a. Darah rutin dan kimia darah : ureum kreatinin, SGOT/PT,LD , bilirubin.
b. Urine : protein, bilirubin, sedimen
c. Kemungkinan adanya pertumbuhan janin terhambat, konfirmasi USG
d. Nilai kesejahteraan janin (kardiotokografi)
  1. Komplikasi
Ablatio retinae
DIC
Gagal ginjal
Perdarahan otak
Gagal jantung
Edema paru
  1. PENGENDALIAN KEJANG PADA PREEKLAMPSIA
Preeklampsia yang sering dipersulit oleh kejang tonik-klonik generalisata disebut eklampsia. Koma fatal tanpa kejang juga disebut eklampsia ; namun, sebaiknya diagnosis dibatasi pada wanita dengan kejang dan menggolongkan kematian pada kasus non kejang sebagai kasus yang disebabkan oleh preeklampsia berat. Apabila telah timbul eklampsia, resiko baik bagi ibu maupun janinnya meningkat.(1)
Hampir tanpa kecuali, kejang eklampsia didahului oleh preeklampsia. Eklampsia disebut antepartum, intrapartum atau postpartum bergantung pada apakah kejang muncul sebelum, selama atau sesudah persalinan. Eklampsia paling sering terjadi pada trisemester akhir dan menjadi semakin sering mendekati aterm. Pada 254 wanita penderita eklampsia yang dirawat di the University Mississippi Medical Center, sekitar 3% mengalami kejang pertama kali 48 jam setelah melahirkan. Pada wanita dengan awitan kejang yang lebih dari 48 jam postpartum, perlu dipertimbangkan diagnosis lain.(1)
Serangan kejang biasanya dimulai di sekitar mulut dalam bentuk kedutan-kedutan (twitching) wajah. Setelah beberapa detik, seluruh tubuh menjadi kaku dalam suatu kontraksi otot generalisata. Fase ini dapat menetap selama 15 sampai 20 detik. Mendadak rahang mulai membuka dan menutup secara kuat, dan segera diikuti oleh kelopak mata. Otot-otot wajah yang lain dan kemudian semua otot melakukan kontraksi dan relaksasi bergantian secara cepat. Gerakan otot sedemikian kuatnya sehingga wanita yang bersangkutan dapat terlempar dari tempat tidur dan apabila tidak dilindungi lidahnya tergigit oleh gerakan rahang yang hebat. Fase ini saat terjadi kontraksi dan relaksasi otot-otot secara bergantian dapat berlangsung sekitar 1 menit. Secara bertahap gerakan otot menjadi lemah dan jarang, dan akhirnya wanita yang bersangkutan tidak bergerak. Sepanjang serangan, diafragma terfiksasi dan pernafasan tertahan. Selama beberapa detik seolah-olah sekarat akibat henti nafas, tetapi kemudian ia menarik nafas dalam, panjang dan berbunyi lalu kembali bernafas. Ia kemudian mengalami koma ; tidak ingat serangan kejang tersebut atau pada umumnya kejadian sesaat sebelum dan sesudahnya. Seiring dengan waktu, ingatan akan pulih. (1)
Kejang pertama biasanya menjadi pendahulu kejang-kejang berikutnya yang jumlahnya dapat bervariasi dari 1 atau 2 pada kasus ringan sampai bahkan 100 atau lebih pada kasus yang berat yang tidak diobati. Pada kasus yang jarang kejang terjadi berturutan sedemikian cepatnya sehingga pasien tampak mengalami kejang yang berkepanjangan dan hampir kontinu. (1)
Durasi koma setelah kejang bervariasi. Apabila kejangnya jarang, wanita yang bersangkutan biasanya pulih sebagian kesadarannya setelah setiap serangan. Sewaktu sadar dapat timbul keadaan setengah sadar dengan usaha perlawanan. Pada kasus yang sangat berat, koma menetap dari satu kejang ke kejang lainnya dan pasien dapat meninggal sebelum ia sadar. Meski jarang, 1 kali kejang dapat diikuti oleh koma yang berkepanjangan, walaupun umumnya kematian tidak terjadi sampai setelah kejang berulang-ulang. (1)
Laju pernafasan setelah kejang eklampsia biasanya meningkat dan dapat mencapai 50 kali per menit, mungkin sebagai respon terhadap hiperkarbia akibat asidemia laktat serta akibat hipoksia dengan derajat bervariasi. Sianosis dapat dijumpai pada kasus yang parah. Demam 39o C atau lebih adalah tanda yang buruk karena dapat merupakan akibat perdarahan susunan saraf pusat. (1)
Pada eklampsia antepartum, tanda-tanda persalinan dapat dimulai segera setelah kejang dan berkembang cepat, kadang-kadang sebelum petugas yang menolong menyadari bahwa wanita yang tidak sadar ini mengalami his. Apabila kejang terjadi saat persalinan, frekuensi dan intensitas his meningkat, dan durasi persalinan dapat memendek. Karena ibu mengalami hipoksemia dan asidemia laktat akibat kejang, tidak jarang janin mengalami bradikardia setelah serangan kejang. Keadaan ini biasanya pulih dalam 3 sampai 5 menit ; apabila menetap lebih dari 10 menit, kausa lain perlu dipertimbangkan misalnya solusio plasenta atau bayi akan segera lahir. (1)
Edema paru dapat terjadi setelah kejang eklampsia. Paling tidak terdapat 2 mekanisme penyebab:
Pneumonitis aspirasi dapat terjadi setelah inhalasi isi lambung apabila kejang diserati oleh muntah
Gagal jantung yang dapat disebabkan oleh kombinasi hipertensi berat dan pemberian cairan intravena yang berlebihan. (1)
Pada sebagian wanita dengan eklampsia, kematian mendadak terjadi bersamaan dengan kejang atau segera sesudahnya akibat perdarahan otak masif. Perdarahan subletal dapat menyebabkan hemiplegi. Perdarahan otak lebih besar kemungkinannya pada wanita yang lebih tua dengan hipertensi kronik. Walaupun jarang, perdarahan tersebut mungkin disebabkan oleh ruptur aneurisma beri (berry aneurysm) atau malformasi arteriovena. (1)
Pada sekitar 10% wanita, sedikit banyak terjadi kebutaan setelah serangan kejang. Kebutaan juga dapat timbul spontan pada preeklampsia. Paling tidak terdapat 2 kasus:
Ablasio retina dengan derajat bervariasi
Iskemia, infark atau edema lobus oksipitalis
Baik akibat patologi otak atau retina, prognosis untuk pulihnya penglihatan baik dan biasanya tuntas dalam seminggu. Sekitar 5% wanita akan mengalami gangguan kesadaran yang cukup bermakna, termasuk koma menetap, setelah kejang. Hal ini disebabkan oleh edema otak yang luas, sedangkan herniasi unkus trantentorium dapat menyebabkan kematian. (1)
DIAGNOSIS BANDING
Umumnya eklampsia lebih besar kemungkinannya terlalu sering didiagnosis (overdiagnosia) daripada kurang terdiagnosis (underdiagnosis) karena epilepsi, ensefalitis, meningitis, tumor serebri, sistiserkosis dan ruptur aneurisma serebri pada kehamilan tahap lanjut dan masa nifas dapat menyerupai eklampsia. Namun sampai kausa-kausa lain ini disingkirkan semua wanita hamil dengan kejang harus dianggap menderita eklampsia. (1)
PROGNOSIS
Prognosis untuk eklampsia selalu serius, penyakit ini adalah salah satu penyakit paling berbahaya yang dapat mengenai wanita hamil dan janinnya. Untungnya angka kematian ibu akibat eklampsia telah menurun selama 3 dekade terakhir dari 5-10% menjadi kurang dari 3% kasus. Pengalaman-pengalaman ini jelas menggarisbawahi bahwa eklampsia serta preeklampsia berat harus dianggap sebagai ancaman yang nyata terhadap nyawa ibu. 23% kematian ibu hamil yang tercatat di Amerika Serikat selama tahun 1997 disebabkan oleh hipertensi kehamilan yaitu paling sedikit 64 orang. (1)
TERAPI
Pada tahun 1955, Pritchard memulai sesuatu regimen terapi terstandarisasi di Parkland Hospital, dan regimen ini digunakan hingga tahun 1999 untuk menangani lebih dari 400 wanita dengan eklampsia. Hasil pengobatan 245 kasus eklampsia yang dianalisis dengan cermat ini dilaporkan oleh Pritchard (1984). Sebagian besar regimen eklampsia yang digunakan di Amerika Serikat menerapkan filosofi yang sama, prinsip-prinsipnya mencakup:
Pengendalian kejang dengan magnesium sulfat intravena dosis bolus. Terapi magnesium sulfat ini dilanjutkan dengan infus kontinu atau dosis bolus intramuskular dan diikuti oleh suntikan intramuskular berkala.
Pemberian obat antihipertensi oral atau intravena intermiten untuk menurunkan tekanan darah apabila tekanan diastolik dianggap terlalu tinggi dan berbahaya. Sebagian dokter mengobati pada saat tekanan diastolik mencapai 100 mmHg, sebagian pada 105 mmHg dan sebagian lagi pada 110 mmHg.
menghindari diuretik dan pembatasan pemberian cairan intravena, kecuali apabila pengeluaran cairan berlebihan. Zat-zat hiperosmotik dihindari.
Pelahiran
Pada kasus preeklampsia yang berat serta pada eklampsia, magnesium yang diberikan secara parenteral adalah obat anti kejang yang efektif tanpa menimbulkan depresi susunan saraf pusat baik pada ibu maupun janinnya. Obat ini dapat diberikan secara intravena melalui infus kontinu atau intramuskuler dengan injeksi intermitten. Jadwal dosis untuk preeklampsia berat sama seperti untuk eklampsia. Karena persalinan dan pelahiran merupakan saat kemungkinan besar terjadinya kejang, wanita dengan preeklampsia-eklampsia biasanya diberi magnesium sulfat selama persalinan dan selama 24 jam postpartum. Magnesium sulfat tidak diberikan untuk mengobati hipertensi. (1)
Berdasarkan sejumlah studi serta pengamatan klinis yang luas, magnesium sulfat kemungkinan besar memiliki efek anti kejang spesifik pada korteks serebri. Biasanya ibu berhenti kejang setelah pemberian awal magnesium sulfat dan dalam 1 sampai 2 jam akan sadar dan pulih orientasinya tentang tempat dan waktu. (1)
Magnesium merupakan unsur penting dalam banyak sistem enzim, khususnya yang terlibat dalam pembentukan energi, cadangan terbesar dalam skelet. Garam magnesium tidak diserap baik dari saluran cerna, hal ini menjelaskan kegunaan magnesium sulfat sebagai laksatif osmotik, bermanfaat bila diperlukan pengosongan usus yang cepat. Sebagai laksatif osmotik, magnesium sulfat merupakan garam-garam anorganik dari ion-ion divalent, senyawa polialkohol dan disakarida ini berkhasiat mencahar berdasarkan lambat absorbsinya oleh usus, sehingga menarik air dari luar usus melalui dinding ke dalam usus oleh proses osmosa.
Pencahar osmotik bekerja dengan cara menahan cairan dalam usus secara osmosis atau dengan mengubah penyebaran air dalam tinja. Magnesium diekskresi sebagian besar melalui ginjal dan karena itu tertahan bila terdapat gagal ginjal walaupun hipermagnesemia (menyebabkan kelemahan otot dan aritmia) jarang terjadi.
Hipomagnesemia. Karena magnesium dibuang dalam jumlah besar melalui cairan usus, kehilangan besar dalam diare, stoma, atau fistula merupakan penyebab paling sering dar hipomagnesemia, defisiensi dapat pula timbul pada alkoholisme atau terapi deuretik dan pernah dilaporkan setelah pengobatan lama dengan aminoglikosid. Hipomagnesemia sering menyebabkan hipokal-semia sekunder dan juga hipokalemia dan hiponatremia.
Hipomagnesemia simtomatik dihubungkan dengan deficit 0.5-1 mmol/kg, mungkin diperlukan sampai 160 mmol Mg 2+ selama 5 hari untukmenutup deficit (memungkinkan pengeluaran melalui urin). Magnesium diberikan dosis awal secara infuse intravena atau injeksi intramuskuler. Kadar magnesium plasma harus diukur untuk menenukan kecepatan dan lama infuse, dan dosis harus diturunkan pada kerusakan ginjal.untuk mencegah berulangnya deficit, magnesium dapat diberikan melalui mulut dengan dosis 24 mmol Mg 2+ tiap hari dalam dosis terbagi, sediaan yang sesuai adalah tablet magnesium gliserofosfat (tidak dipasarkan). Untuk pemeliharaan (misalnya pada nutrisi intravena) dosis parenteral magnesium adalah 10-20 mmol Mg 2+ sehari (lazimnya sekitar 12 mmol Mg 2+ tiap hari).
Magnesium Sulfat menunjukkan peran besar dalam eklamsia untuk mencegah kejang berulang. Cara pengobatan di Inggris beragam antar rumah sakit tetapi selalu diawali pemberian intravena magnesium sulfat 4 gram (kira-kira 16 mmol Mg 2+) dalam 20 menit disusul dengan infuse intavena dengan kecepatan 1 gram (kira-kira 4 mmol Mg 2+) tiap jam. Berulangnya kejang mungkin memerlukan bolus intravena tambahan 2-4 gram (kira-kira 8-16 mmol Mg 2+). Monitoring EKG dilaksanakan, demikian juga pengawasan tekanan darah dan pengawasan tanda klinis overdosis (hilangnya reflek patella, lemah, mual, rasa panas, flushing, mengantuk, pandangan ganda, dan slurred speech, injeksi kalsium glukonat digunakan pada manajemen toksisitas magnesium). Juga perlu untuk memantau detak jantung fetus terus-menerus.
Magnesium sulfat ; garam Inggeris ; mekanisme kerjanya didalam usus berdasarkan penarikan air (osmosis) dari bahan makanan karena tigaperempat dari dosis oral tidak diserap. Resorpsi, antara 15-30% dari dosis diserap oleh usus, yang dapat mengakibatkan kadar magnesium darah terlampau tinggi, khususnya jika fungsi ginjal kurang baik. Oleh karena itu, magnesium sulfat hendaknya jangan digunakan untuk waktu yang lama. Mulai kerjanya setelah 1-3 jam. Boleh digunakan selama kehamilan, akan tetapi masuk ke air susu ibu
Obat ini bekerja sebagai vasodilator serebral dan stabilisator membran, mengurangi iskemia dan kerusakan neuron yang mungkin terjadi. Obat ini juga bisa bekerja sebagai anti konvulsan sentral yang memblok reseptor N-methyl-D-aspartat. Magnesium sulfat mempunyai jangkauan terapi yang luas dan monitoring klinis cukup dengan mengobservasi frekuensi pernapasan, saturasi PO2 (pulse oximetry ) dan reflek perifer. Monitoring ketat kadarnya dalam serum penting khususnya jika ada penurunan ekskresi ginjal, karena kelebihan magnesium sulfat bisa menyebabkan depresi pernafasan berat dan bahkan kegagalan fungsi kardio respirasi untungnya ada antidotum kalsium glukonate yang bekerja cepat.
Penggunaan rutin magnesium sulfat sebagai profilaksi pada semua wanita dengan preeklamsia masih dipertanyakan. Meskipun demikian jika keputusan dibuat untuk menerapi wanita tersebut sebagai profilaksi selama persalinan magnesium sulfat adalah terapi ideal, terlebih lagi pada uji terbaru dengan skala yang lebih besar, magnesium sulfat lebih baik daripada phenitoin dan diazepam untuk terapi prevensi kejang berulang pada wanita eklamsia, semua wanita dengan eklamsia harus mendapat magnesium sulfat selama persalinan dan minimal 24 jam postpartum.
Magnesium sulfat selain dipakai untuk mencegah kejang dapat dipakai untuk mengatasi kejang dan menyebabkan terjadinya vasodilatasi uterus, efek lainnya adalah vasodilatasi pembuluh darah sehingga dapat menyebabkan penurunan tekanan darah sementara dan diikuti oleh kenaikan nadi. Dalam hal ini magnesium sulfat tidak dipakai sebagai anti hipertensi tetapi sebagai vasodilatasi dari uterus. Dosis yang besar dapat mengakibatkan gangguan dari kontraksi uterus.
DOSIS PEMBERIAN MAGNESIUM SULFAT
Infus intravena kontinu
Berikan dosis bolus 4 – 6 gram magnesium sulfat yang diencerkan dalam 100 ml cairan IV dan diberikan dalam 15 – 20 menit
Mulai infus rumatan dengan dosis 2 gram/ jam dalam 100 ml cairan IV
Ukur kadar magnesium sulfat pada 4 – 6 jam setelahnya dan sesuaikan kecepatan infus untuk mempertahankan kadar antara 4 dan 7 mEq/ l (4,8 – 8,4 mg/ dl)
Magnesium sulfat dihentikan 24 jam setelah bayi lahir
Injeksi Intramuskular Intermiten
Berikan 4 gram magnesiun sulfat (MgSO47H2O USP) sebagai larutan 20% secara intravena denagn kecepatan tidak melebihi 1 gram/ menit
Lanjutkan segera dengan 10 gram larutan magnesium sulfat 50%, separuhnya (5g) disuntikkan dalam-dalam di kuadran lateral atas bokong dengan jarum ukuran 20 sepanjang 3 inci (penambahan 1 ml lidokain 2% dapat mengurangi nyeri). Apabila kejang menetap setelah 15 menit, berikan magnesium sulfat sampai 2 gram dalam bentuk larutan 20% secara intravena dengan kecepatan tidak melebihi 1 gram/ menit. Apabila wanita yang bersangkutan bertubuh besar, magnesium sulfat dapat diberikan sampai 4 gram secara perlahan-lahan
Setiap 4 jam sesudahnya berikan 5 gram larutan magnesium sulfat 50% yang disuntikkan dalam-dalam ke kuadran lateral atas bokong bergantian kiri-kanan, tetapi hanya setelah dipastikan bahwa:
refleks patella masih baik
tidak terdapat depresi pernafasan
pengeluaran urin selama 4 jam sebelumnya melebihi 100 ml
tersedia antidotum yakni glukonas calcicus
Magnesium sulfat dihentikan 24 jam setelah pelahiran
Stop pemberian MgSO4, jika
frekuensi pernapasan <>
Refleks patella (-) sampai menghilang pada kadar plasma 8-10 mEq/L
Urine <>
Kejang hampir selalu dapat diatasi bila kadar MgSO4 plasma dipertahankan 4-7 mEq/L
Lethal dose adalah kadar MgSO4 lebih dari 20 mEq/L
FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI
Magnesium sulfat USP adalah MgSO47H2O dan bukan MgSO4. Magnesium yang diberikan secara parenteral dikeluarkan hampir seluruhnya melalui ekskresi ginjal dan intoksikasi magnesium dapat dihindari dengan memastikan bahwa pengeluaran urin memadai, refleks patella atau biseps positif dan tidak ada depresi pernafasan. Kejang eklampsia ha,pir selalu dapat dicegah apabila kadar magnesium plasma dipertahankan pada 4 – 7 mEq/ l (4,8 – 8,4 mg/ dl atau 2,0 – 3,5 mmol/ l). (1)
GANGGUAN FUNGSI GINJAL
Karena magnesium hampir seluruhnya dibersihkan melalui ekskresi ginjal, dengan menggunakan dosis yang sudah dijelaskan, konsentrasi magnesium plasma akan berlebihan apabila filtrasi glomerulurus berkurang secara nyata. Dosis standar awal magnesium sulfat dapat dengan aman diberikan tanpa mengetahui fungsi ginjal. Setelah itu, fungsi ginjal dapat diperkirakan dengan mengukur bersihan kreatinin, dan apabila nilainya 1,3 mg/ dl atau lebih maka hanya diberikan dosis magnesium sulfat separuh dari dosis rumatan magnesium sulfat intramuskular yang diuraikan sebelumnya. (1)
Dengan dosis untuk gangguan ginjal ini, kadar magnesium plasma biasanya berada dalam rentang yang diinginkan yaitu 4 -7 mEq/ l. Apabila magnesium sulfat diberikan secara intravena dengan infus kontinu, kadar magnesium serum digunakan untuk menyesuaikan kecepatan infus. Pada kedua metode, apabila terjadi insufisensi ginjal, kadar magnesium plasma harus diperiksa secara berkala. (1)
EFEK KARDIOVASKULAR
Efek akut ion magnesium parenteral pada wanita dengan PEB telah diteliti oleh Cotton (1986) yang memperoleh data dengan menggunakan kateterisasi arteria radialis dan pulmonalis. Setelah pemberian dosis 4 gram secara intravena dalam 15 menit, rerata tekanan darah arteri sedikit menurun, dan hal ini disertai peningkatan indeks kardiak sebesar 13%. Dengan demikian magnesium menurunkan resistensi vaskular sistemik serta tekanan arteri rata-rata (MAP) dan pada saat yang sama meningkatkan curah jantung tanpa tanda-tanda depresi miokard. Temuan-temuan ini terjadi bersamaan dengan flushing (kulit memerah) dan mual transien. Efek kardiovaskular hanya berlangsung selama 15 menit walaupun infus magnesium terus diberikan dengan kecepatan 1,5 gram perjam. (1)
Thurnau (1987) memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan kecil, tetapi sangat bermakna, konsentrasi magnesium cairan serebrospinal setelah terapi magnesium untuk preeklampsia. Besarnya peningkatan ini berbanding lurus dengan konsentrasi serum. Peningkatan ini tidak dapat disebabkan oleh penyakit itu sendiri karena kadar magnsium cairan serebrospinal tidak berubah pada wanita preeklampsia berat yang tidak diobati apabila dibandingkan dengan kontrol normotensif. (1)
Lipton dan Rosenberg (1994) memperkirakan bahwa efek anti kejang disebabkan oleh blokade influks kalsium neuron melalui saluran glutamat. Cotton (1992) memicu aktivitas kejang di regio hipokampus tikus karena hipokampus adalah regio ambang kejang yang rendah dan kepadatan reseptor N-metil-D-aspartat yang tinggi. Reseptor-reseptor ini dikaitkan dengan berbagai model epilepsi. Karena kejang hipokampus dapat dihambat oleh magnesium, diperkirakan bahwa resptor N-metil-D-aspartat berperan dalam kejang eklampsia. Yang penting, hasil-hasil seperti ini mengisyaratkan bahwa magnesium memiliki efek susunan saraf pusat dalam menghambat kejang. (1)
EFEK PADA UTERUS
Ion-ion magnesium dalam konsentrasi yang relatif tinggi akan menekan kontraktilitas miometrium, baik in vivo maupun in vitro. Dengan regimen seperti yang telah dijelaskan dan kadar plasma yang ditimbulkannya, belum pernah dijumpai bukti-bukti depresi miometrium selain penurunan aktivitas transien selama dan segera setelah dosis bolus intravena awal. Leveno (1998) meneliti hasil akhir persalinan dengan pemberian magnesium sulfat dan pemberian fenitoin untuk penanganan preeklampsia, mendapat hasil bahwa magnesium sulfat tidak secara bermakna mengubah stimulasi persalinan oleh oksitosis, interval rawat inap sampai janin keluar, dan rute pelahiran. Hasil serupa juga dilaporkan oleh peneliti lain (Atkinson, 1995 ; Szal, 1999 ; Witlin, 1997). (1)
Mekanisme bagaimana magnesium dpaat menghambat kontraktilitas uterus masih belum dikethaui, tetapi secara umum dianggap bahwa hal ini disebabkan oleh efek megnesium terhdap kalsium intraselular ular (Watt-Morse, 1995). Jalur regulatorik yang mengarah pada kontraksi Ca2+ bebas intrasel ular, yang mengaktifkan rantai pendek miosin kinase (Mizuki, 1993). Konsentrasi magnesium ekstraselular yang tinggi dilaporkan tidak saja menghambat masuknya kalsium ke dalam sel miometrium tetapi juga menyebabkan kadar magnesium intrasel ular meningkat.
Peningkatan kadar magnesium intraselular ini dilaporkan dapat menghambat masuknya kalsium ke dalam sel – mungkin dengan menyekat saluran kalsium (Mizuki, 1993). Mekanisme ihibisi kontraktilitas uterus ini tampaknya bergantung pada dosis karena untuk menghambat kontraksi uterus diperlukan kadar magnesium serum minimal 8 sampai 10 mEq/ l (Watt-Morse, 1995). Hal ini mungkin menjelaskan mengapa secara klinis tidak tampak efek pada uterus apabila magnesium sulfat diberikan untuk terapi atau profilaksi eklampsia. Secara spesifik, megnesium sulfat apabila diberikan secara intravena atau intramuskular untuk preeklampsia atau eklampsia, menghasilkan kadar yang secara konsisten di bawah 8 – 10 mEq/ l sehingga tidak terjadi hambatan kontraktilitas uterus. (1)
EFEK PADA JANIN
Bayi baru lahir ibu yang mendapat pengobatan magnesium sulfat kemungkinan akan mengalami hipermagnesemia dengan gejala gagal napas, refleks yang menurun dan gejala perut kembung (akibat hipermagnesemia menekan fungsi otot polos usus sehingga menyebabkan ileus). Oleh sebab itu pada bayi baru lahir tersebut sejak menit pertama sampai 1 jam setelah lahir harus diamati :
Tangis, apakah menangis lemah atau tidak ada tangisan
Refleks, apakah lemah atau menurun
Pernapasan, apakah perlu dilakukan resusitasi atau perlu bantuan pernapasan dengan alat resusitasi
Magnesium yang diberikan secara parenteral kepada ibu dengan cepat menembus plasenta untuk mencapai keseimbangan di serum janin dalam derajat yang lebih ringan di cairan amnion (Hallak, 1993). Neonatus dapat mengalami depresi hanya apbila terjadi hipermagnesemia yang parah saat lahir. Belum pernah dijumpai gangguan neonatus pada terapi dengan meagnesium sulfat (Cunningham dan Pritchard, 1984). Apakah magnesium sulfat mempengaruhi pola frekuensi denyut jantung janin, terutama variabilitas denyut demi denyut masih diperdebatkan. Dalam sebuah penelitian acak yang membandingkan infus magnesium sulfat dengan infus salin, mendapatkan bahwa magnesium sulfat berkaitan dengan penuruanan sedikit yang secara klinis tidak bermakna dalam variabilitas frekuensi denyut jantung janin.
Sebagian penulis menyatakan adanya kemungkinan efek protektif magnesium sulfat terhadap cerebral palsy pada janin dengan berat lahir sangat rendah. Murphy (1995) mendapatkan bahwa preeklampsia yang bersifat protektif terhadap cerebral palsy, dan bukan magnesium sulfat. Namun Kimberlin (1996) tidak memperoleh manfaat tokolisis dengan magnesium sulfat pada bayi yang lahir dengan berat kurang dari 1000 gram.
PENGAWASAN PEMBERIAN MAGNESIUM SULFAT DAN TERMINASI KEHAMILAN
Disini ditekankan bahwa pemberian obat-obat disertai pengawasan terus menerus. Jumlah dan waktu pemberian obat disesuaikan dengan keadaan penderita pada tiap-tiap jam demi keselamatannya dan sedapat-dapatnya juga demi keselamatan janin dalam kandungan.
Sebelum diberikan obat penenang yang cukup, maka penderita preeklamsia harus dihindarkan dari semua rangsangan yang dapat menimbulkan kejang, seperti keributan, injeksi atau pemeriksaan dalam.
Penderita dirawat dalam kamar isolasi yang tenang, tekanan darah, nadi, pernafasan dicatat tiap 30 menit pada suatu kertas grafik suhu dicatat tiap jam. Bila penderita belum melahirkan, dilakukan pemeriksaan obstetrik untuk mengetahui saat permulaaan atau kemajuaan persalinan. Untuk melancarkan pengeluaran sekret dari jalan pernafasan pada penderita koma, penderita dibaringkan dalam posisi terndelenberg dan selanjutnya dibalikkan kesisi kiri dan kanan tiap jam untuk menghindari dekubitus. Alat penyedot disediakan untuk membersihkan jalan pernafasan, dan oksigen diberikan pada sianosis. Dauer cathether di pasang untuk mengetahui diuresis dan untuk menentukan protein dalam air kencing secara kuantitatif. Balans cairan harus diperhatikan dengan cermat. Pemberian cairan disesuaikan dengan jumlah diuresis dan air yang hilang melalui kulit dan paru-paru pada umumnya dalam 24 jam diberikan 2000 ml. Balans cairan dinilai dan disesuaikan tiap 6 jam.
Kalori yang adekuat diberikan untuk menghindarkan katabolismus jaringan dan asidosis. Pada penderita koma atau kurang sadar pemberian kalori dilakukan dengan infuse dekstran, glukosa 10%, atau larutan asam amino, separti amino fusion. Cairan yang terakhir ini mengandung kalori dan asam amino.
Bila terjadi henti napas berikan antidotum yakni glukonas calcicus 1 g IV pelan pelan disertai oksigenasi dan biasanya langkah ini sudah cukup untuk mengatasi depresi napas tersebut. Bila terjadi henti napas (tidak pernah terjadi pada dosis terapi) lakukan pula intubasi dan ventilasi aktif.
Setelah kejang dapat diatasi dan keadaan umum penderita diperbaiki maka direncanakan untuk mengakhiri kehamilan atau mempercepat persalinan dengan cara aman. Apakah pengakhiran kehamilan dilakukan dengan seksio sesaria atau dengan induksi persalinan pervaginam, hal tersebut tergantung dari berbagai faktor, seperti keadan serviks, komplikasi obstetrik, paritas, adanya ahli anesthesia dan sebagainya.
Persalinan pervaginam merupakan cara yang paling baik bila dapat dilaksanakan secara cepat tanpa banyak kesulitan. Pada eklamsia gravidarum perlu diadakan induksi dengan amniotomi dan infuse pitosin, setelah penderita bebas dari serangan kejang selama 12 jam dan keadan serviks mengijinkan. Tetapi bila serviks masih lancip dan tertutup terutama pada primigravida, kepala janin masih tinggi, atau ada persangkaan disproporsi sefalopelviks, sebaiknya dilakukan seksio sesarea.
EFEKTIVITAS KLINIS TERAPI MAGNESIUM SULFAT
Pada abad ke 17 di Paris, eklampsia dihubungkan dengan 50% dari semua penyebab kematian maternal. Pertama kali digunakan regimen Magnesium Sulfat adalah pada tahun 1929 di rumah sakit Chicago Lying-In, dengan pemberian Magnesium Sulfat secara intramuskular berhasil menurunkan angka kematian dari 36% menjadi 7%. Pasien-pasien dengan eklampsia di Amerika Serikat sejak tahun 1955 hingga 1980, kematian maternal sedikit demi sedikit berhasil diturunkan dengan menggunakan terapi ini. (10)
Lucas (1995) melaporkan hasil penelitiannya pada 2000 wanita dengan hipertensi di Parkland Hospital dalam penggunaan magnesium lebih efektif apabila dibandingkan dengan fenitoin dalam profilaksi kejang. Magnesium sulfat juga dilaporkan efektif sebagai profilaksi kejang eklampsia apabila dibandingkan dengan diazepam dan fenitoin pada 1700 wanita yang dilakukan acak pada 23 pusat kesehatan di 8 negara. (10)
Penelitian yang dilakukan MAGPIE dengan membandingkan magnesium sulfat dan dengan pemberian plasebo, berhasil mencegah terjadinya eklampsia lebih dari 50% dari 10.000 wanita yang ikut serta. Selain itu juga mengurangi angtka kematian maternal lebih dari setengah, tetapi secara statistik hasil tidak signifikan. (10)
Pada tahun 1995, dipublikasikan hasil-hasil dari uji klinis multinasional terapi eklamsia. Studi the Eclampsia Trial Collaborative Group (1995) ini sebagian didanai oleh WHO dikoordinasikan oleh the National Perinatal Epidemiology Unit di Oxford, Inggris. Studi ini menyertakan 1687 wanita dengan eklampsia yang secara acak dibagi untuk mendapat regimen anti kejang yang berlainan. Ukuran hasil akhir yang utama adalah kekambuhan kejang dan kematian ibu. Pada satu penelitian, 453 wanita yang secara acak mendapat magnesium sulfat dibandingkan dengan 452 yang diberi diazepam. Pada penelitian lain, 388 wanita eklamptik secara acak mendapat magnesium sulfat dan dibandingkan dengan 387 wanita yang diberi fenitoin.
Wanita yang mendapat terapi magnesium sulfat mengalami 50% penurunan insiden kejang berulang dibandingkan dengan mereka yang mendapat diazepam. Kematian ibu menurun pada wanita yang mendapat magnesium sulfat, namun walupun secara klinis mengagumkan, namun perbedaan ini secara statistik tidak bermakna. Secara spesifik, terdapat 3,8 % kematian pada 453 wanita yang mendapat magnesium sulfat diabndingkan dengan 5,1 % pada 452 yang mendapat diazepam. Morbiditas maternal dan perinatal tidak berbeda di antara kedua kelompok dan tidak terdapat perbedaan dalam jumlah induksi persalinan atau SC.
Pada perbandingan kedua, wanita yang secara acak mendapat magnesium sulfat dibandingkan dengan yang mendapat fenitoin memperlihatkan penuruanan 67% dalam kejang berulang. Mortalitas ibu di kelompok magnesium lebih rendah daripada di kelompok fenitoin (2,6 versus 5,2%). Penurunan angka kematian ibu sebesar 50% yang mengesankan ini ternyata juga tidak bermakna secara statistik.
Pada perbandingan lain, wanita yang mendapat terapi magnesium sulfat lebih kecil kemungkinannya memerlukan ventilasi buatan, terjangkit pneumonia dan dirawat di ruang perawatan intensif daripada mereka yang mendapat fenitoin. Neonatus dari wanita yang mendapat magnesium sulfat secara bermakna lebih kecil kemungkinannya membutuhkan intubasi saat pelahiran dan dirawat di ruang perawatan intensif dibandingkan neonatus yang lahir dari ibu yang mendapt fenitoin.
Infark cerebral dan perdarahan adalah salah satu sebab utama kematian karena preeklampsia-eklampsia. Sejak ditemukannya magnesium sulfat sebagai vasodilator cerebral, efek entieklampsi bekerja dengan mengurangi iskemia dengan mengurangi vasospasme cerebral. Penelitian lain yang membandingkan magnesium sulfat dengan vasodilator spesifik cerebral nimodipin, memberikan hasil magnesium sulfat masih lebih efektif sebagai terapi profilaksi kejang pada preeklampsia berat. (11)
Pada pemberian nimodipine kejang terjadi pada 2,6% dari total pasien (819) sedang dengan pemberian magnesium sulfat hanya 0,8% pasien (831) terjadi kejang. 12 dari 21 pasien pada pemberian nimodipin mendapatkan kejang pada periode antepartum dan 9 pasien kejang postpartum. Pasien yang mendapatkan profilaksi magnesium sulfat kejang terjadi pada saat antepartum, tidak ada pasien yang mendapatkan kejang berulang post partum. (11)
Pasien dengan pemberian nimodipin dan mendapatkan terapi hydralazine lebih banyak terjadi eklampsia apabila dibandingkan dengan magnesium sulfat yang disertai hydralazine juga (4% vs 1,1%). Pada pasien tanpa diberikan hydralazine, frekuensi terjadinya eklampsia pada pemberian nimodipin saja lebih banyak daripada dengan pemberian magnesium sulfat (1,4 vs 0,5%). (11)
Dari penelitian-penelitian di atas dapat dibuktikan bahwa pemberian magnesium sulfat secara parenteral secara signifikan dapat mencegah eklampsia. Perbedaan yang signifikan didapatkan pada perbandingan kejang postpartum yang dapat dicegah dengan penggunaaan magnesium sulfat. Dengan mengkaji penelitian dengan penggunaan magnesium sulfat dan nimodipin, teori yang menyebutkan adanya vasospasme cerebral dan iskemia adalah sebab predominan eklampsia tidak dapat dibuktikan. Karena dengan penggunaan nimodipin tidak terbukti lebih efektif dibandingkan dengan magnesium sulfat. (11)
Penelitian yang dipublikasikan sebelumnya oleh Belfort (2002), menjelaskan adanya perubahan hemodinamik cerebral pada pasien preeklampsia. Peningkatan tekanan perfusi cerebral adalah penyebab kerusakan utama dibandingkan penurunan aliran darah cerebral. Peningkatan tekanan perfusi cerebral adalah hasil dari barotrauma cerebral dan edema vasogenik. Nimodipin memperlihatkan peningkatan tekanan perfusi cerebral pada pasien dengan preeklampsia, sedangkan magnesium sulfat justru menurunkannya.(12)
Nimodipin kurang efektif dibandingkan dengan magnesium sulfat dalam mencegah kejang, menjelaskan bahwa kejang pada pasien preeklampsia bukan disebabkan karena perdarahan yang banyak dalam kaitannya dengan overperfusi (encephalopathy hipertensi) dan iskemi. Kejang yang lebih banyak terjadi dengan terapi nimodipin akan menjelaskan bahwa dasar dari kerja nimodipin mengurangi perlindungan vasokonstriksi dan memperburuk overperfusi. Efek ini bisa dibuktikan pada periode postpartum dimana tingkat konstriktor yang dihasilkan plasenta akan menurun. (12)
KEUNTUNGAN PEMBERIAN MAGNESIUM SULFAT
Cara pemberian mudah, sederhana, nyaman bagi pasien
Relatif mudah diperoleh dan harganya pun relatif murah, sedangkan hasilnya cukup baik
Pada kadar terapi, kesadaran pasien tidak terpengaruh meskipun Mg dapat melewati sawar (barrier) plasenta, namun hampir tidak pernah mempengaruhi keadaan janin, kecuali terjadi hipermagnesia (>15 mEq/L) pada saat kala II
BAB III
KESIMPULAN
Preeklamsia-eklamsia merupakan penyebab kematian ibu yang penting disamping sepsis dan pendarahan. Penyakit ini diklasifikasikan sebagai hipertensi yang di induksi oleh kehamilan. Keadaan ini ditandai oleh hipertensi, udema dan proteinuria pada preeklamsia, diikuti oleh kejang atau koma pada eklamsia.
Penanganan atau pengobatan preeklamsia dan eklamsia hanya dilakukan secara simtomatis. Tujuan utama penanganan adalah mencegah terjadinya preeklamsia berat dan eklamsia, melahirkan janin hidup, melahirkan janin dengan trauma sekecil-kecilnya.
Pada kasus preeklamsia berat dan eklamsia, obat pilihannya adalah magnesium sulfat. Obat ini harus digunakan untuk mencegah dan menerapi kejang dan karena itu dapat mencegah skuelnya. Obat ini bekerja sebagai vasodilator serebral dan stabilisator membran, mengurangi iskemia dan kerusakan neuron yang mungkin terjadi. Obat ini juga bisa bekerja sebagai anti konvulsan sentral yang memblok reseptor N-methyl-D-aspartat. Magnesium sulfat mempunyai jangkauan terapi yang luas dan monitoring klinis cukup dengan mengobservasi frekuensi pernapasan, saturasi PO2 (pulse oximetry ) dan reflek perifer.
Magnesium sulfat selain dipakai untuk mencegah kejang dapat dipakai untuk mengatasi kejang dan menyebabkan terjadinya vasodilatasi uterus, efek lainnya adalah vasodilatasi pembuluh darah sehingga dapat menyebabkan penurunan tekanan darah sementara dan diikuti oleh kenaikan nadi. Dalam hal ini magnesium sulfat tidak dipakai sebagai anti hipertensi tetapi sebagai vasodilatasi dari uterus. Dosis yang besar dapat mengakibatkan gangguan dari kontraksi uterus.
Monitoring ketat kadarnya dalam serum penting khususnya jika ada penurunan ekskresi ginjal, karena kelebihan magnesium sulfat bisa menyebabkan depresi pernafasan berat dan bahkan kegagalan fungsi kardio respirasi untungnya ada antidotum kalsium glukonate yang bekerja cepat.
DAFTAR PUSTAKA
Cunningham, F. G., Gant N.F., Leveno K. J., Gilstrap L. C., Hauth J. C., Wenstrom K. D., 2006. Obstetri William Edisi 21. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Tuffnell DJ, Jankowicz D, Lindow SW, Lyons G, Mason GC, Russell IF, Walker JJ. Outcomes of severe pre-eclampsia/ eclampsia in Yorkshire 1999/ 2003. BJOG 2005;112:875–80.
Douglas KA, Redman CW. Eclampsia in the United Kingdom. BMJ 1994;309:1395–400.
Rambulangi J., 2003. Penanganan Pendahuluan Prarujukan Penderita Preeklampsia Berat dan Eklampsia, Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar.
Sibai B., Dekker G., Kupferminc M., 2005. Lancet 365: 785–99. Department of Obstetrics and Gynecology, University of Cincinnati College of Medicine, USA.
Wiknjosastro, H, Saifuddin A. B., Rachimhadhi, T. 2005. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Bagian Kebidanan dan Kandungan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Pengurus Besar IDI, Preeklampsia – eklampsia, Standar Pelayanan medis, Departemen kesehatan RI, Jateng.
Sudabrata. K, Profil Penderita Preeklamsia – Eklamsia di RSU Tarakan, artikel, bagian Kebidanan dan Kandungan RSU Tarakan, Kaltim, 2001
Josoprawiro. M, 1999. Hipertensi pada Kehamilan Preeklampsia – Eklampsia, FKUI, Jakarta.
Greene, M. F. 2003. Magnesium Sulfate for Preeclampsia. The New England Journal of Medicine Volume 348:275 – 276, January 23, 2003 Number 4.
Belfort, M. A, Anthony, J., Saade, G. R., Allen J.C. 2003. A Comparison of Magnesium Sulfate and Nimodipine for the Prevention of Eclampsia. The New England Journal of Medicine Volume 348 : 304 – 311, January 23, 2003 Number 4.
Belfort M. A., varner M. W., Dizon D. S., Grunewald C., Nisell H., 2002. Cerebral perfusion Pressure and not Cerebral Blood Flow, may be the Critical determinant of Intracranial Injury in Preeclampsia. Am J Obstet Gynecol 187 : 626 - 634